Selasa 06 Oct 2020 22:30 WIB

Sekulerisasi di Prancis, Konstitusi Dukung Sudutkan Islam?

Konstitusi Prancis justru mendukung keragaman dan kebebasan beragama.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Konstitusi Prancis justru mendukung keragaman dan kebebasan beragama. Bendera Prancis
Foto:

photo
Umat Islam melaksanakan shalat (ilustrasi). - (Antara/Retno Esnir)

 

Pada 2010, pemerintah melarang wanita Muslim  mengenakan jilbab di sekolah-sekolah pemerintah dan ruang publik, dan pada 2015 baju renang Muslimah (burkini) dilarang di pantai umum dan di kolam renang umum. Wanita Muslim justru diperintahkan oleh hukum untuk memperlihatkan tubuh mereka di depan umum, bertentangan dengan ajaran agama mereka. 

Macron mengklaim bahwa RUU sangat diperlukan. terlebih setelah serangan yang dilakukan oleh umat Islam, termasuk serangan terhadap Majalah Charlie Hebdo yang menerbitkan kartun satir Nabi Muhammad SAW.

Lanna Hollo, seorang pejabat hukum senior dengan Open Society Justice Initiative di Paris, mengatakan, Macron, politisi Prancis dan hukum Prancis terutama menargetkan Muslim, merupakan "sekutu terbaik" polisi dalam menjaga ketertiban umum.

“Diskriminasi terhadap komunitas minoritas tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga kontraproduktif. Penindasan dan perlakuan diskriminatif selalu menimbulkan kebencian dan reaksi,” ujarnya.

Hassen Chalghoumi adalah Imam Prancis moderat di pinggiran kota Paris. Dia berpendapat bahwa perpindahan agama juga didorong sekularisme resmi Prancis, yang menurutnya melahirkan kekosongan spiritual. Sekularisme, katanya, telah membentuk masyarakat menjadi antiagama. 

Aturan yang kaku di Prancis, pada akhirnya mendorong kaum muda Muslim dan mualaf untuk putus sekolah. 

Emilie, seorang gadis Muslim Prancis berusia 14 tahun terpaksa berhenti sekolah setelah dia dilarang mengenakan jilbab. Emilie dibawa ke panti asuhan oleh Kementerian Kehakiman, yang khusus menangani kasus-kasus kenakalan hingga radikalisme yang melibatkan anak di bawah umur.

“Mereka khawatir saya telah deradikalisasi, padahal sebenarnya bukan itu masalahnya. Saya hanya ingin mempraktikkan agama saya dengan cara yang masuk akal bagi saya," ujar Emilie. 

"Islam memiliki efek damai pada mualaf," kata Samir Amghar, seorang sosiolog dan pakar Islam radikal di Eropa kepada New York Times. Dia menunjukkan bahwa Islam memberikan lebih banyak struktur dan disiplin daripada agama lain. “Dunia terlihat lebih jelas [untuk bertobat] setelah mereka bertobat,” ujarnya.

“Kami sedang dalam proses mencoba mengorganisasikan sebuah agama yang menjadi perhatian enam juta orang di Prancis, untuk mencegah 200 dari mereka menjadi teroris. "Tidak bisakah kita melihat bahwa itu tidak masuk akal?” 

Olivier Roy, seorang sarjana Islam dan profesor di Institut Universitas Eropa di Florence mengatakan Majalah. Roy mengatakan bahwa Muslim memiliki wewenang penuh untuk menilai dan melakukan reformasi terkait agama mereka, bukan negara.

 

"Klaim Macron tentang Islam dan Muslim dibantah dengan mudah. Dia memang “membangkitkan perasaan Islamofobia dan rasis untuk menarik pemilih sayap kanan” dan berusaha mati-matian untuk melepaskan diri dari kegagalan kebijakannya yang berulang di dalam dan luar negeri. Lalu, apakah Presiden Prancis benar-benar berupaya untuk menderadikalisasi Islam? Tidak semuanya, dia hanya ingin terpilih kembali (menjadi presiden)," tulis Motasem A Dalloul dalam artikel yang dimuat di Middle East Monitor. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement