REPUBLIKA.CO.ID, Masih teringat jelas kobaran api yang menghanguskan Katedral Notre Dame Paris April 2019 lalu, dimana banyaknya spekulasi yang mengaitkannya dengan serangan-serangan sebelumnya di Prancis.
Pemimpin kelompok parlemen dari Alternatif untuk Jerman (AfD), partai oposisi terbesar Jerman dan gerakan nasionalis sayap kanan pertama yang memasuki parlemen sejak Perang Dunia II, Alice Weidel bahkan secara terang-terangan menuduh Muslim sebagai dalang dibalik kejadian tersebut.
Prancis sendiri merupakan negara Eropa pertama yang melarang penggunaan niqab, kerudung yang menutup hingga wajah dan hanya menyisakan mata saja. Keputusan yang dikeluarkan pada 2011 ini berlaku bagi seluruh warga lokal maupun imigran. Presiden Prancis saat itu, Nicolas Sarkozy, menyebut niqab mengoperasi perempuan dan “tidak diterima” di Prancis.
Sanksi yang ditetapkan bagi pelanggar adalah denda sebesar 150 Euro atau Rp2,4 juta. Individu yang memaksa orang lain menggunakan niqab juga terancam denda 30 ribu Euro atau sekitar Rp 480 juta, disertai hukuman satu tahun penjara.
Peraturan ini semakin kokoh ketika Prancis mengantongi izin Mahkamah HAM Eropa untuk mengukuhkan larangan niqab pada 2 Juli 2014. Berdasarkan data pada 2015, sebanyak 1.546 orang telah didenda terkait larangan niqab ini.
Abdallah Zekri, Presiden Lembaga Pengawas Nasional Islamofobia mengatakan, pada 2019, serangan Islamofobia di Prancis naik hingga 54 persen. Berdasarkan data pada 2018, terjadi sekitar 100 serangan terhadap umat Muslim di Prancis dan setahun kemudian, meningkat menjadi 154 kasus.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi di Swedia. Saat terjadinya aksi pembakaran Alquran yang memantik kemarahan umat Muslim Swedia. Ratusan Muslim turun ke jalan-jalan Malmo, ibu kota Swedia. Para pengunjuk rasa yang sebagian besar Muslim imigran mengamuk, melempari polisi dengan batu, membakar ban, dan berbagai aksi kekerasan lainnya.
Kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus 2020 ini sontak mengejutkan banyak pihak, sebab Swedia selalu disimbolkan sebagai negara yang makmur dan toleran. Namun citra tersebut tergerus sejak dua tahun terakhir, saat Islamofobia menguat di negara itu.
Warga lokal mulai memandang imigran Muslim sebagai biang masalah, disusul bermunculannya laporan penyerangan yang menargetkan imigran Muslim. Gerakan-gerakan anti-Islam juga semakin populer, dimana Islam dijadikan sebagai ancaman bagi kehidupan bangsa Eropa.
Narzanin Massoumi, seorang dosen di University of Exeter di Inggris dan co-editor “What Is Islamophobia? Racism, Social Movements and the State.”
Dalam harian The New York Times dia menulis opini bertajuk: 'Why Is Europe So Islamophobic?' dengan sub judul: 'The attacks don't come from nowhere' mengatakan, Islamofobia sejatinya telah berlangsung selama 20 tahun terakhir. "Perang melawan teror, yang menjadikan Muslim dan Islam sebagai ancaman peradaban bagi "Barat", menciptakan kondisi untuk meluasnya Islamofobia," kata dia.
Massuomi mengatakan, secara internasional, itu menyebabkan ketidakstabilan dan peningkatan kekerasan, dengan kebangkitan ISIS sebagai konsekuensinya. Di dalam negeri, baik di Eropa dan Amerika Serikat, kebijakan kontra terorisme baru sangat menargetkan Muslim.
Aksi pembakaran Alquran juga terjadi di Norwegia pada 29 Agustus lalu. Pembakaran dan penghinaan Nabi Muhammad yang dilakukan oleh kelompok Stop Islamization of Norway ini memancing kemarahan umat Muslim Norwegia.
Aksi penistaan Islam oleh kelompok Stop Islamization of Norway bukan kali pertama terjadi. Pada Juni lalu, kelompok ini juga menghina Islam dan melemparkan Alquran ke tanah.
Dalam sebuah acara di kota Oslo, Pimpinan Kelompok Stop Islamization of Norway, Anna Braten menyampaikan dalam pidatonya yang mengklaim bahwa Islam tak mempunyai tempat di Norwegia. Dia menegaskan semua Alquran yang berada di negaranya tersebut harus dihancurkan.
“Kemudian Braten mengeluarkan Alquran untuk merusaknya, namun ketika polisi turun tangan, Dia melempar Alquran itu ke tanah dan menghina orang-orang Muslim,” seperti dilansir Anadolu Agency Pada Senin (17/6).
Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian Departemen Studi Budaya Universitas Oslo, populasi Muslim di Norwegia terus mengalami peningkatan. Dalam riset tersebut dijelaskan, setiap tahunnya, 3.000 orang di Norwegia memeluk Islam. Mereka memilih Islam dikarenakan meneliti dan membaca literatur tentang Islam.
Sementara Surat kabar lokal Verdens Gang melaporkan, jumlah warga Norwegia yang memilih menjadi Muslim sejak 1990-an telah meningkat. Laporan itu mengatakan jumlah Muslim yang dikonversi di negara itu selama 1990-an sekitar 500 sementara jumlah ini telah mencapai sekitar 3.000 dalam beberapa tahun terakhir.