REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Kisah ini sangat masyhur diceritakan olah ulama. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dalam kitabnya yang bertajuk at-Tawwabin, menukilkan cerita ini sebagai bahan pelajaran. Ada banyak hikmah di dalamnya, tetapi yang paling mendasar adalah ulama hendaknya tetap rendah hati, dan meminta petunjuk Allah SWT selalu, ini seperti yang tertangkap dari pengalaman Nabi Dawud AS.
Nabi Dawud terkenal sebagai sosok panutan yang disiplin. Ia membagi waktu sehari-harinya menjadi empat bagian. Satu hari khusus untuk mengkaji ilmu bersama Bani Israil, sehari lainnya untuk beribadah di mihrab, sehari lagi untuk pengadilan, dan sehari lainnya untuk para istri.
Tetapi, justru di sinilah ujian Allah datang menghampirinya. Sewaktu mengisi pengajian bersama Bani Israil, tiba-tiba seseorang dari mereka berseloroh bahwa tak sehari pun yang dilewati anak Adam, kecuali ia pernah berbuat dosa.
Merasa terhindar dari ungkapan itu, Dawud tebersit di hatinya untuk sedikit berbangga hati. Bahwa dia tidak termasuk dari apa yang disangkakan oleh umatnya. Tetapi, hal itu justru mendapat teguran dari-Nya. “Hai Dawud, waspadalah, hingga cobaan mendatangimu,' firman Allah.
Syahdan, saat Dawud tengah khusyuk berada di mihrab, atau tempat ibadahnya dan membaca Zabur, tiba-tiba seekor burung hinggap persis di depannya. Tubuh burung itu terbuat dari emas dan sepasang sayapnya dari sutra halus dan bermahkotakan mutiara. Paruhnya terbuat dari permata zamrud dan sepasang kakinya pun terbuat dari permata pirus. Dawud terkesima dengan burung itu, ia yakin, burung tersebut datang dari surga.
Terpukau pada keindahannya, ia berkeinginan menangkap burung tersebut lantas diberikan kepada putra kecilnya. Ia pun mengejar burung tersebut, tetapi apa daya, justru tiap kali burung nyaris di genggaman, selalu saja lepas dan lolos. Hingga, tibalah Dawud pada sebuah celah. Tanpa sengaja, ia melihat sosok perempuan dengan kondisi terbuka auratnya, tengah mandi. Merasa diawasa, sang perempuan bergegas menutupi tubuhnya dengan ribuan helai rambutnya.
Nabi Dawud segera bergegas menuju mihrabnya dengan rasa membara di hati. Ia penasaran, siapakah gerangan wanita itu. Dan ternyata, usut punya usut, ia bernama Tasyayu, putri Hanana. Suaminya bernama Uriya bin Shura, yang tengah berjihad di Balqa' bersama keponakan Nabi Dawud. Singkat kata, Dawud bersiasat mengirim Uriya ke garis depan medan pertempuran, dan akhirnya Uriya meninggal syahid.
Ketika masa idah istri Uriya telah habis, Daud mengutus seseorang meminang Tasyayu'. Selanjutnya menikahlah mereka. Saat berada di mihrab, tiba-tiba ada suara keras dua lelaki yang tengah terlibat perkara. Salah satu dari mereka telah berbuat zalim kepada saudaranya. Mereka meminta keputusan pengadilan.
Nabi Dawud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shaad: 24)
Tetapi, jawaban ini malah direspons dengan gelak tawa kedua orang tersebut. Nabi Dawud terheran dan merasa aneh. “Engkau berbuat zalim, mengapa justru tertawa, rupanya kau perlu kapak untuk menghancurkan ini dan inimu?” Yang dimaksud kening dan mulutnya. “Saya kira Andalah yang perlu diperlakukan begitu,” jawab pria yang ternyata adalah malaikat dan tengah menjelma. Keduanya lantas menghilang.
Nabi Dawud sadar bahwa kedua orang misterius tadi adalah peringatan dari Allah. Ia akhirnya bertaubat dan bersujud selama 40 hari. Selama bersujud, ia tidak pernah mengangkat kepala, kecuali untuk keperluan mendesak. Ia menahan diri dari makan dan minum. Air mata berderai. Berbagai doa pengampunan pun dipanjatkan. Ia bertaubat sebenar-benar taubat. Buah 'bisikan' hatinya itu, telah menjadikannya bersalah.
“Mahasuci Sang Pencipta cahaya! Tuhanku, hanya kepada Engkaulah aku lari dengan membawa segala dosaku dan aku mengaku atas segala kesalahanku. Oleh karena itu, janganlah Engkau jadikan aku orang-orang yang berputus asa dan jangan pula Engkau susahkan aku pada hari Kiamat nanti,” kata Dawud dalam sebuah doanya. Dengan ketulusan dan kesungguhan bertaubat itulah, akhirnya Allah mengabulkan permintaan Dawud AS.