Jumat 04 Sep 2020 05:04 WIB

Kenangan Orang Minang: Kisah Sukarno Hapus Oposisi

Nasib negara ketika tak ada oposisi

Para oposan di zaman Orde Lama, era Presiden Soekarno. Terlihat para tahanan poitik yang menjadi kaum penguasa lainnya. Dari kiri ke kanan: Mochtar Lubis, M. Yunan Nasution, HJ. Princen, K.H.M. Isa Anshari, E.Z. Muttaqin. Sosok paling kanan belum bisa dikenali.
Foto:

Menurut Fachry Ali, terbitnya Gema Islam merupakan refleksi pertentangan kekuatan politik “tingkat tinggi”. Penilaian itu menurut saya tidak berlebihan, karena penerbitan Gema Islam memang masih ada kaitannya dengan persaingan politik antara Soekarno dengan Nasution, serta persaingan antara golongan yang pro-PKI dengan yang anti-PKI.

Sesudah Harian Abadi milik Masyumi dibredel, termasuk Majalah Pedoman Masjarakat yang juga digawangi Hamka, golongan Islam memang tidak lagi memiliki corong untuk membendung propaganda dan serangan-serangan PKI. Kelahiran Majalah Gema Islam dimaksudkan untuk menghadapi semua itu.

Kedudukan umat Islam pada masa itu, menurut Rosihan Anwar, memang sangat terdesak.

PKI kala itu memang sedang mendapatkan angin dan mereka tak hendak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyingkirkan golongan Islam dari gelanggang politik. Pada situasi demikian, Gema Islam menjadi corong untuk mengkonsolidasikan kembali suara umat.



Di tengah pemerintahan yang sudah dibajak oleh golongan komunis, bagaimana bisa sebuah majalah semacam itu terbit melenggang?

Kalau saya melihat kembali boks redaksi Majalah Gema Islam No. 2/Th. I, 1 Februari 1962, majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Perpustakaan Islam Pusat. Posisi pemimpin umum dipegang oleh Brigjen TNI Soedirman. Sementara, posisi penanggung jawab dipegang oleh Letkol TNI M. Rowi. Di bawah nama dua orang tadi, tercantum posisi Dewan Redaksi, yang diisi oleh H. Anwar Tjokroaminoto, Dr. A. Mukti Ali, Letkol TNI M. Esa Idris, dan Mahbub Djunaidi.

Rusjdi Hamka, yang merupakan anak lelaki Hamka, menempati posisi Sekretaris Redaksi. H.M. Joesoef Ahmad, yang di Majalah Pandji Masjarakat menempati posisi Pimpinan Usaha, menempati posisi yang sama.



Melihat susunan pengurus tersebut, cukup jelas jika majalah ini terbit dengan dukungan tentara di belakangnya. Brigjen TNI Soedirman, yang menjadi Pimpinan Umum, adalah Kepala Komando Seskoad. Sementara, Letkol TNI Muchlas Rowi, yang menjadi Penanggung Jawab, adalah Kepala Pusat Pemeliharaan Rohani (Pusroh) TNI AD. Sulit untuk membayangkan dukungan kedua tokoh militer itu hadir tanpa sepengetahuan Nasution.



Sebagaimana telah disebut sebelumnya, kehadiran Majalah Gema Islam dan berpindahnya aktivitas Hamka ke Kebayoran Baru telah menjadikan Masjid Agung Al Azhar bukan hanya sebagai pusat kegiatan dakwah, melainkan juga menjadi pusat dari oposisi ideologis terhadap golongan komunis dan pendukungnya. Tak heran, pada masa itu Hamka kerap jadi obyek serangan koran-koran PKI dan sejumlah teror lainnya.

Misalnya, salah satu karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939), dituduh orang-orang PKI sebagai karya plagiat atas karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832). Puncak teror dan fitnah golongan komunis adalah ketika Hamka dituduh hendak membunuh Bung Karno, yang membuatnya harus mendekam dalam penjara selama lebih dari dua tahun.



Sesudah kekuasaan Soekarno surut, dan PKI dibubarkan, pada 5 Oktober 1966 Majalah Pandji Masjarakat kembali terbit. Kali ini, majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam, yang dipimpin Hamka sendiri. Pengasuh lamanya, Jusuf Abdullah Puar, menyatakan diri keluar. Sementara, K.H. Faqih Usman saat itu sudah meninggal.

Dari para pengasuh lama, yang masih tinggal adalah Hamka dan H.M. Joesoef Ahmad. 
Selain para pengasuh lama, menurut Kurniawan Junaedhi, Pandji Masjarakat generasi kedua ini juga diisi oleh para pengurus baru, yaitu Hasjim Sutan Pamenan, H. Sjafril Umar Ali, H. Amiruddin Siregar, H.M. Yunan Nasution, Zulfikar Yusuf Ahmad, dan H. Rusjdi Hamka. 




Ayahku, H. Sjafril Umar Ali, bukan hanya menjadi staf biasa di Madjalah Pandji Masjarakat generasi kedua ini. Sebagai pengusaha, ayah diminta menjadi pemimpin perusahaan. Ia tercatat menjadi Pemimpin Perusahaan Panjimas sejak pertengahan tahun 1967.

Saya tidak ingat hingga tahun berapa ayahku menjadi pemimpin perusahaan di sana. Namun, kalau dari penelusuran arsip yang saya lakukan, sejak akhir tahun 1969, nama ayahku tak lagi masuk di dalam boks pengasuh Majalah Pandji Masjarakat.



Sebagai corong umat, Majalah Panji Masyarakat saya kira termasuk majalah yang berumur panjang. Saat media umat lainnya patah tumbuh dalam siklus yang cepat, Panjimas adalah corong umat Islam yang bertahan lama, bukan hanya melewati fase Orde Lama, tapi juga hingga melewati Orde Baru. 



Sesudah sempat berhenti terbit pada pertengahan dekade 1990-an, majalah ini, misalnya, kembali terbit pada 1997 dengan manajemen, wajah dan positioning baru.

Jika sebelumnya majalah ini menyebut dirinya sebagai “Madjalah Penjebar Kebudajaan dan Pengetahuan untuk Perdjuangan Reformasi dan Modernisasi Islam”, yang kemudian diperbarui menjadi “Majalah Penyebar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan untuk Dakwah dan Pembangunan Umat”, maka sesudah terbit kembali pada 1997, majalah ini menggunakan tajuk “Mingguan Berita Khas”. 



Secara umum isinya mirip dengan majalah berita mingguan umum. Namun, Panji menyediakan rubrik khas. Tiap edisi, Panji Masyarakat baru ini memuat sisipan berukuran lebih kecil yang diberi nama “Khas”. Sisipan ini mirip seperti majalah tersendiri. Ada sejenis liputan utama dan sejumlah rubrik yang semuanya bernuansa keagamaan.

Misalnya, ada rubrik “Pengalaman Religius”. Isinya adalah pengalaman keagamaan para tokoh atau artis. Tiap edisi mengangkat pengalaman satu tokoh. 

Rubrik lainnya adalah “Tafsir”. Sesuai namanya, rubrik ini berisi tafsir ayat-ayat Al Qur’an.

Ada juga rubrik “Muzakarah” yang isinya adalah konsultasi keagamaan. Pendek kata, semua hal yang terkait dengan soal keagamaan sebagaimana yang menjadi isi Majalah Panjimas versi lama, kini dipisahkan pada sisipan Khas tersebut.

Pada edisi-edisi awal, nama Rusjdi Hamka saya lihat masih tercantum sebagai Pemimpin Redaksi.

Bedanya, kini Rusjdi didampingi oleh dua Wakil Pemimpin Redaksi, yaitu Syu’bah Asa dan S. Sinansari Ecip. Sesudah Rusjdi, jabatan pimpinan redaksi kemudian dipegang oleh Uni Zulfiani Lubis. 

Majalah Panji versi baru ini secara visual dan isi, menurut saya, adalah versi terbaik dari Panjimas. Tampilan visualnya hanya bisa disaingi oleh Majalah Ummat.

Sebagai majalah berita, berkali-kali Panji mengangkat dan menginvestigasi kasus-kasus besar dan sensitif. Namun demikian, dengan latar belakang sejarahnya, majalah ini tak kehilangan perannya sebagai penyambung lidah umat. Inilah yang membedakannya dengan majalah berita lainnya, seperti Gatra, Sinar, Forum, dan juga Tempo.



Sayangnya, format terbaik Majalah Panji Masyarakat ini tak berumur panjang. Pada tahun 2001, majalah ini berhenti terbit. Saat terbit kembali pada Oktober 2002, namanya berubah menjadi “Panjimas”. Slogannya juga berubah menjadi “Majalah Islam Representatif”. Jika sebelumnya terbit mingguan, versi terkini Panjimas ini terbit dwi mingguan. 



Sayangnya lagi, Panjimas versi baru ini sepertinya kurang matang melakukan riset pasar. Terbukti, sesudah tahun 2003, saya tak lagi mendengar kabar majalah ini. 



Hingga hari ini, kalau mendengar kembali nama “Panji Masyarakat”, atau “Panjimas”, ingatan saya akan kembali lagi ke masa lalu. Saya memang punya banyak memori dengan majalah tersebut. Selain karena saya pernah menjadi loper majalah ini sewaktu sekolah dulu, ayahku juga pernah menjadi pengasuhnya.




Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement