REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Selama lima tahun terakhir, seorang perempuan asal Palestina, Bayan Faroun, 26, mengharapkan tunangannya, Ahmed, suatu hari akan keluar dari gerbang penjara Israel.
Sembilan bulan setelah pertunangan mereka pada Maret 2015, ketika keluarga sedang mempersiapkan pernikahan mereka, pasukan Israel menyerbu rumah Ahmed dan menangkapnya.
“Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Pada Maret 2017, tentara juga menyerbu rumah saya dan menangkap saya. Saya menghabiskan 40 bulan di penjara Israel,” tutur Faroun, yang berasal dari Al-Ezarieh, sebuah kota dekat Yerusalem Timur.
Dia dituduh berpartisipasi dalam aktivitas pro-Hamas di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Faroun terpilih sebagai juru bicara tahanan perempuan Palestina di Penjara Damon dekat Haifa pada 2018. Dia memegang jabatan itu hingga dibebaskan pada Juli 2020.
Sehari-harinya ketika di penjara, dia dan para tahanan Palestina lainnya, menggelar aksi protes damai di halaman penjara menuntut agar mereka diizinkan untuk menelepon keluarga mereka.
Kunjungan keluarga ditangguhkan karena pandemi Covid-19. Akibatnya, sebanyak 40 narapidana perempuan, termasuk 11 ibu, putus kontak dengan keluarga dan anak-anak mereka.
Selain itu, alih-alih memberi kami masker medis, mereka meminta kami untuk rajin mencuci masker kain," imbuh Faroun.
Penolakan perawatan kesehatan
Faroun juga mengungkapkan bahwa permintaan tujuh narapidana, yang terluka parah saat ditangkap, tidak dikabulkan. Dokter hanya memberi mereka pereda nyeri.
Bahkan, Israa Jabees, 34, yang 60 persen tubuhnya menderita luka bakar, tidak dirawat di rumah sakit.
“Otoritas mengatakan Jabees tidak membutuhkan operasi. Narapidana lainnya yang harus dirawat di rumah sakit karena penyakit kronis juga tak diperbolehkan masuk rumah sakit," kata dia lagi.
“Pemerintah memutuskan untuk memindahkan seorang narapidana ke sel isolasi meskipun kondisi kesehatannya kritis. Saat kami memprotesnya, penjaga penjara malah memukuli kami dengan agresif. Kemudian mereka menutup sel dan kami dilarang pergi ke halaman penjara selama berhari-hari," ujar Faroun.
Musim dingin lalu, pasukan Israel menyita semua perangkat elektronik. Sebagai jubir narapidana, Faroun kadang-kadang harus turun tangan untuk melindungi rekan-rekannya dari penyiksaan penjaga penjara.
“Ketika Ashraf Nalawah dibunuh, ibunya berada dipenjara dan saya harus memberitahukan bahwa putranya menjadi martir. Dia kaget, berteriak histeris di halaman, dan meminta pulang untuk melihat putranya. Namun petugas penjara hanya bergeming. Semua narapidana menangis menyaksikan hal itu,” katanya.
Alih-alih menghiburnya, petugas penjara malah mencoba memprovokasi dia.
Larangan distribusi buku dan bahan kerajinan tangan
Otoritas penjara Israel baru-baru ini melarang Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk mendistribusikan buku kepada para tahanan. Sebelumnya, mereka biasa mendapatkan buku dari keluarga mereka saat berkunjung.
“Otoritas menolak membuka perpustakaan hingga Pengadilan Pusat di Haifa mengeluarkan putusan untuk membuka perpustakaan yang masih perlu diisi dengan buku-buku," tutur dia.
Faroun mengenang bahwa para narapidana dulu menginvestasikan waktu mereka untuk mempelajari kaligrafi, bahasa, dan kerajinan tangan. Namun sekarang kegiatan itu pun ditiadakan.
“Mereka juga baru-baru ini melarang distribusi benang dan manik-manik untuk kerajinan tangan," tambah Faroun.