Kamis 27 Aug 2020 03:53 WIB

Menag: Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah Merujuk PBM

PBM jadi rujukan pelaksanaan ibadah di rumah ibadah.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Menag: Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah Merujuk PBM. Foto: Menteri Agama Fachrul Razi
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menag: Pelaksanaan Ibadah di Rumah Ibadah Merujuk PBM. Foto: Menteri Agama Fachrul Razi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perselisihan pelaksanaan ibadah kembali terjadi di Cikarang. Sejumlah massa mengajukan keberatan atas penggunaan rumah pribadi sebagai tempat pelaksanaan ibadah.

Selain itu, ibadah yang berlangsung mengumpulkan banyak orang di luar keluarga kandung, bahkan dari luar penghuni komplek.

Baca Juga

Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menyesalkan terjadinya perselisihan ini. Menurutnya, hal seperti itu tidak semestinya terjadi jika semua pihak merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

"Pelaksanaan ibadah di rumah ibadah harus merujuk PBM Pendirian Rumah Ibadah. Regulasi tidak membatasi umat untuk beribadah di berbagai tempat ibadah, tapi ada pengaturan untuk pelaksanaan ibadah di rumah ibadah," ujar Menag dalam keterangan yang didapat Republika, Rabu (25/8).

Menurut Menag, konsep tempat ibadah dan rumah ibadah berbeda. Tempat ibadah terkait pelaksanaan ibadah yang bersifat terbatas, misalnya perorangan atau keluarga, dan tidak mendatangkan massa, apalagi dari luar keluarga atau luar komplek. Hal terdebut dilakukan di mana saja, termasuk di rumah sendiri.

Namun, jika pelaksanaan ibadah sudah mendatangkan massa atau orang dari luar keluarga dan komplek, ia menyebut kegiatan itu harus dilakukan di rumah ibadah, bukan di rumah hunian.

Dalam PMB 8 dan 9, diatur pula terkait rumah ibadah. Yakni, bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu dan khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Definisi ini tegas menyebutkan bahwa rumah ibadah bukan tempat ibadah keluarga.

Rumah ibadah juga terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan juga dari sisi sosial. Dengan konsep rumah ibadah, maka bangunan itu khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.

“Rumah hunian atau ruko tidak dalam pengertian rumah ibadah. Itu adalah masuk kategori rumah ibadah sementara sesuai ketentuan PBM. Kalau sudah berbicara rumah ibadah, maka dia sudah permanen, spesifik, memiliki syarat tertentu sebagaimana lazimnya rumah ibadah setiap agama,” lanjutnya.

Rumah ibadah memiliki pengertian sebagai tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang. PMB No 8 dan 9 tahun 2006 menyebutnya dengan istilah para pemeluk masing-masing agama.

Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitar rumah ibadah. Itulah alasan perlunya persetujuan dari warga, agar masyarakat punya kesiapan mental dan sosial bahwa di tempatnya akan dibangun rumah ibadah dengan segala konsekuensinya.

Dalam PBM itu diatur juga pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah sebagai 'rumah ibadah sementara'. Selain itu, harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan laik fungsi, dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Persyaratan laik fungsi mengacu pada

peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi: izin tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota, serta pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan atau gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota diterbitkan setelah

mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota. Surat keterangan pemberian izin sementara itu berlaku paling lama dua tahun.

"Jadi regulasinya sudah ada dan jelas, tidak menghambat namun tidak juga semaunya. Saya imbau semua pihak menjadikannya sebagai pedoman sehingga potensi perselisihan dalam pelaksanaan ibadah seluruh umat bisa dihindari, sebagaimana yang telah berlangsung baik di banyak tempat selama ini" kata Menag.

Jika di lapangan lantas terjadi perselisihan, ia mengimbau agar diselesaikan berdasarkan musyawarah atau melalui jalur hukum. Aparat Kemeterian Agama di daerah disebut akan membantu menjembataninya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement