REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – India adalah rumah bagi sekitar dua ratus juta Muslim, yang sebagian besar diidentifikasi sebagai Sunni. India menjadi salah satu populasi Muslim terbesar di dunia tetapi minoritas di negara yang didominasi Hindu.
Muslim membentuk sekitar 15 persen dari populasi. Sementara Hindu membentuk sekitar 80 persen. Komunitas Muslim di negara ini beragam, dengan perbedaan bahasa, kasta, etnis dan akses ke kekuatan politik dan ekonomi.
Sejak kemerdekaan India, Muslim telah menghadapi diskriminasi, prasangka, dan kekerasan sistematis, meskipun ada perlindungan konstitusional. Para ahli mengatakan, sentimen anti-Muslim telah meningkat di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa.
Kepemimpinan BJP ini telah mengejar agenda nasionalis Hindu sejak mengambil alih kekuasaaan pada 2014.
Sejak terpilihnya kembali Modi pada 2019, pemerintah telah mendorong kebijakan kontroversial yang menurut para kritikus secara eksplisit mengabaikan hak-hak Muslim dan secara efektif dimaksudkan untuk mencabut hak jutaan Muslim. Tindakan tersebut telah memicu protes di India dan menuai kecaman internasional.
Dalam artikel berjudul "Muslim India: Populasi yang Semakin Marjinal" yang diterbitkan di laman Council on Foreign Relations (CFR), dilansir pada Jumat (21/8), para cendekiawan mengatakan bahwa sejumlah permusuhan antara Hindu dan Muslim di India dapat ditelusuri kembali ke pemisahan dari British India pada 1947.
Hancur secara ekonomi setelah Perang Dunia II, Inggris kekurangan sumber daya untuk mempertahankan kerajaan mereka dan pindah meninggalkan anak benua itu.
Pada tahun-tahun sebelum pemisahan, Partai Kongres Nasional India, di bawah kepemimpinan Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru, mendorong kemerdekaan. Mereka mengorganisasi pembangkangan sipil dan protes massa terhadap pemerintahan Inggris.
Sementara itu, kelompok politik Liga Muslim Seluruh India yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah menyerukan negara tersendiri bagi umat Islam. Pada 1947, seorang hakim Inggris dengan tergesa-gesa memutuskan perbatasan untuk India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim (termasuk yang sekarang menjadi Bangladesh).
Pemisahan itu memicu kerusuhan mematikan, kekerasan komunal yang mengerikan, dan migrasi massal Muslim ke Pakistan dan Hindu dan Sikh ke India. Para penyintas ingat kereta api berlumuran darah yang membawa pengungsi dari satu negara ke negara lain, kota-kota terbakar habis, dan mayat-mayat dilempar ke jalan-jalan.
Sejarawan memperkirakan antara dua ratus ribu hingga dua juta orang tewas. Namun demikian, mengapa komunitas yang telah hidup berdampingan selama ratusan tahun saling menyerang masih belum jelas.
Beberapa ahli menyalahkan Inggris dan strategi 'divide-and-rule' mereka, yang memberikan beberapa hak istimewa elektoral bagi minoritas Muslim, sekitar 25 persen dari populasi.
Yang lain menunjuk pada ketegangan antara gerakan politik Hindu dan Muslim, yang mengumpulkan konstituen di sepanjang garis agama.
Sekitar tiga puluh lima juta Muslim tinggal di India setelah pemisahan. Mereka memilih untuk tetap bersama kerabat dan melestarikan harta benda dan kekayaan mereka. Sementara banyak yang menentang pembentukan negara terpisah untuk Muslim sejak awal.
Faktor agama sendiri menjadi konstitusi India. Konstitusi negara yang kini berusia tujuh puluh tahun menjunjung prinsip-prinsip egaliter, termasuk kesetaraan sosial dan non-diskriminasi.
Kata "sekuler" ditambahkan ke kata pembukaan pada 1976, tetapi konstitusi tidak secara eksplisit mensyaratkan pemisahan agama dan pemerintah seperti yang dilakukan beberapa piagam nasional.
Para pemimpin partai Kongres yang memperjuangkan kemerdekaan menganjurkan India mengakui semua warga negara dan agama secara setara. Gandhi, yang membayangkan negara sekuler bebas dari diskriminasi, dibunuh pada 1948 oleh seorang nasionalis Hindu.
Sedangkan Nehru, perdana menteri pertama India, percaya bahwa sekularisme penting untuk membangun masyarakat yang damai dan menghindari tragedi lain seperti apa yang terjadi setelah pemisahan.
Dia melihat mereka yang mencoba memecah belah India menurut garis agama, terutama kelompok Hindu, sebagai ancaman terbesar bangsa.