REPUBLIKA.CO.ID, -- Teladan hidup Muhammad Saw memang sangat mengesankan. Dia sangat tabah dalam segala hal, termasuk menjalani penderitaan ketika kaumnya memboikot dirinya dan kaum Muslim pengikutnya habis-habisan. Bahkan mereka ini melakukan embargo demi menjepit kehidupan kaum Muslim di masa awal itu.
Sang paman Abu Thalib, meski orang tokoh yang disegani kaum Qurays di Makkah, tak bisa berbuat terlalu banyak. Memang pada satu sisi dia sebenarnya percaya pada dakwah kemenakannya. Tapi di sisi lain dalam kehidupan nyata Abu Thalib enggan berikrar menjadi menjadi Muslim karena merasa segan kepada kaumnya.
Abu Thalib tahu segala hal yang terjadi atas kemenakannya itu. Bahkan dia berungkali mencoba menjadi sosok penghubung antara Muhammad dan suku Quraisy. Pada suatu waktu dia sempat meminta pertimbangan dengan sangat berat hati kepada kemenakannya soal dakwahnya kepada kaum Quraisy. Ini terjadi setelah sebelumnya para tokoh Quraisy mengadu kepadanya dengan meminta Muhammad menghentikan dakwahnya.
Penggalan kisah itu terbaca manis pada karya Muhammad Husain Haekal penulis ‘Sejarah Hidup Muhammad’ yang legendaris itu. Kisahnya di awali dengan percakapan antara Abu Thalib dengan sang kemenakannya, Muhammad, tentang dakwahnya.
Kala itu, secara halus sang paman ingin melihat sang kemenakan mempertimbangkan kembali kegiatan dakwahnya karena membuat kaumnya, Quraisy, terganggu dengan hebat.
Lalu apa jawaban Rasullah Muhammad SAW. Begini kisahnya seperti ditulis Husain Haekal tersebut.
———————
“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya.”
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Air matanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemenakannya itu.
Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya: “Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib (suku utama kaum Quraisy,red). Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy.
Mereka (kaum Quraisy) semua menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak lawan mereka.
Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya.
Tetapi bukan fanatisma itu saya yang mendorong Quraisy bersikap demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka.
Kedudukan Muhammad di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di kalangan kabilah- kabilah Arab.
Muhammad terus dan selalu menyatakan, bahwa agama Allah itu bukanlah seperti yang ada pada mereka sekarang. Dan ini membuat mereka dapat membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu. Bagi Abu Thalib sikap itu selalu dinyatakan sang kemenakan, Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya. Dia sendiri sudah mendengarnya seperti yang pernah dikatakan kepadanya oleh Umayya bin Abi’sh-Shalt dan Waraqa bin Naufal dan yang warga suku quraisy lain.
Maka, Abi Tahlib sadar, kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat mereka pastikan - maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orangpun akan meninggalkannya seperti yang sudah terjadi sebelum itu.
Akhirnya ajaran demikian ini tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang ada dan dia sendiripun akan diserahkan kepada musuh supaya dibunuh.
Abu Tahlib sangat paham dan tahu bahwa sang kemenakan, Muhammad SAW, akan teguh atas semua tekanan suku Quraisy. Bahkan dia siap serahkan jiwa dan raga.