REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Israa Alsabagh mulai mengenakan kerudung ke sekolah saat berusia 10 tahun. Sebagai seorang Muslim yang lahir dan besar di Jerman, dia memohon kepada sang ibu untuk membiarkannya memakai penutup kepala.
Ketika akhirnya ia menggunakan kerudung ke kelas untuk pertama kalinya, ia merasa semua orang melihat ke arahnya. Hal ini karena ia terlihat berbeda.
Seiring berjalannya waktu, terlihat semakin jelas jika teman sekelasnya tidak menjadikan penggunaan kerudung sebagai sebuah masalah. Hanya beberapa guru yang usianya lebih tua, atau orang asing, yang membuatnya sakit kepala.
“Sesekali, saya akan mendapatkan komentar bodoh (dari seorang guru), seperti, 'Nah, mengapa tidak kamu tanyakan kepada Tuhan?'," Kata Alsabagh dilansir di CS Monitor, Sabtu (15/8).
Di lain waktu, wanita yang kini herusia 16 tahun ini akan menemukan orang asing di kendaraan umum. Orang asing itu berkata, "Pulang, apa yang kamu lakukan di sini?".
Alsabagh selalu menjawab jika ia adalah orang Jerman. Sang ibu juga orang Jerman. Setelahnya, orang asing itu akan merasa terkejut.
Anti-Semitisme merupakan perhatian konstan di Jerman. Tetapi, Islamofobia juga menjadi kekhawatiran terbesar bagi negara tersebut.
Sebanyak 5 juta Muslim di negara tersebut semakin menjadi bagian dari struktur masyarakat. Tetapi, insiden anti-Muslim juga mengalami peningkatan.
Banyak perhatian diarahkan pada anti-Semitisme di Jerman. Sementara, kefanatikan anti-Muslim bahkan berpotensi lebih merusak tatanan sosial negara.
Muslim, dengan total 5 juta orang, lebih kuat dibandingkan dengan sekitar 150 ribu Yahudi di Jerman. Insiden kebencian anti-Muslim pun terus meningkat.
Pelanggaran dimulai dari mikroagresi harian, penghinaan yang terjadi setiap hari, disadari serta tidak, dan memperkuat diskriminasi. Tindakan paling besar dan mengerikan juga terjadi, seperti penembakan Hanau pada Februari 2020.
Kala itu, seorang ekstremis sayap kanan menembaki dua bar sisha dan membunuh sembilan orang. Kejadian besar lainnya yakni pembunuhan politisi pro-pengungsi di negara bagian Hesse oleh seorang neo-Nazi pada bulan Juni tahun lalu.
Kemajuan menuju penerimaan kelompok agama terbesar kedua di Jerman setelah Kekristenan datang beriringan. Pemerintah Jerman telah menjanjikan keamanan lebih di masjid tahun ini.
Tetapi pada saat yang sama, menteri dalam negeri menghentikan audit profil rasial polisi, di negara di mana kelompok minoritas ras terbesar didominasi Muslim. Bulan lalu, negara bagian Baden-Württemberg Jerman melarang anak-anak mengenakan jilbab dan niqab di sekolah.
"Sekitar setengah dari populasi melihat Islam sebagai ancaman, dan gambarannya telah diperkuat,” kata peneliti di Yayasan Penelitian Jerman Bertelsmann Stiftung, Yasemin El-Menouar.
Selama 15 atau 20 tahun yang lalu masyarakat Jerman banyak bicara tentang Muslim, sementara Muslim itu sendiri tidak dibiarkan berbicara. Saat ini, banyak generasi Muslim yang dibesarkan di Jerman dan berpendidikan tinggi. Mereka dengan lantang berkata punya hak untuk berada di negara tersebut dan menjadi bagian dari diskusi.
Lamya Kaddor merupakan salah satu dari generasi itu. Sebagai seorang penulis, aktivis dan guru, dia telah menjawab banyak pertanyaan dari rekan-rekannya ketika mengajar tentang Islam.
Beberapa pertanyaan yamg ia terima antara lain, "apakah anda akan mengajar cara membuat bom?" atau "Bagaimana bisa wanita yang dibebaskan seperti Anda mengajarkan keyakinan kuno seperti itu?".
"Di lain waktu, orang akan berkata, 'Kembali ke Turki'. Tidak ada yang peduli bahwa saya sebenarnya bukan dari Turki," kata penulis buku "Muslim, Female, German!" terbitan 2010 ini
Media Jerman disebut terus mengasosiasikan Islam dengan kekerasan atau penindasan. Muslim saat ini menderita pengucilan yang lebih parah daripada orang Yahudi, baik dalam tingkat dan ruang lingkup keterasingan
Wanita yang telah mempelajari sentimen anti-Semitisme dan anti-Muslim ini menyebut, orang Jerman berpikir rasisme telah dihapuskan di negara tersebut karena Adolf Hitler tidak lagi ada.
Sementara, rasisme adalah fenomena yang dinamis. Sentimen itu beradaptasi dengan cepat dan menyesuaikan diri terhadap kondisi masyarakat.
Kondisi yang dimaksud termasuk penerimaan satu juta pengungsi pada tahun 2015, setelah Kanselir Angela Merkel menangguhkan protokol untuk mengirim mereka kembali ke negara "aman" lainnya.
Masuknya para migran, sebagian besar Muslim dari Suriah, Irak, dan Afghanistan, membantu memicu munculnya partai politik sayap kanan yang sebagian berkampanye dengan platform anti-Muslim. Pada 2017 partai ini memenangkan 94 kursi di parlemen federal Jerman.
Kaddor menilai politik, media dan masyarakat harus berubah. Ia juga menambahkan pernah menerima ancaman pembunuhan begitu dia mulai menerbitkan buku.
"Ini tentang melihat Muslim sebagai korban dan anggota aktif masyarakat ini, sebagai orang Jerman yang setara," kata dia.
Generasi muda Jerman tumbuh dalam masyarakat yang paling beragam secara etnis dari generasi ke generasi. Mereka idealnya berhubungan dengan orang-orang dari segala rupa, yang mempraktikkan semua jenis agama.
Pada aspek penerimaan agama, terlihat ada kemajuan. El-Menouar dari Bertelsmann Stiftung menyebut masyarakat Jerman sudah mulai mempelajari dasar toleransi yang kuat terhadap semua agama, kecuali Islam.
Penelitiannya juga menunjukkan kontak antara orang-orang yang berbeda agama adalah kunci untuk menghilangkan stereotip. Hasilnya paling kuat terlihat di kalangan anak muda.
"Kita perlu mendekonstruksi jarak sosial sehingga menyadari bahwa orang yang menganut agama berbeda belum tentu berbeda," kata dia.
Pekerjaan ini dinilai penting, terutama karena populasi Muslim yang akan meningkat di Jerman dan di seluruh Eropa. Seiring bertambahnya usia penduduk Jerman, migrasi akan membantu meringankan angkatan kerja yang mulai menua, dengan banyak dari imigran baru yang kemungkinan besar adalah Muslim.
Di Berlin, Alsabagh memiliki kepercayaan pada orang-orang. Ia menyebut rasisme tidak datang secara intrinsik.
"Rasisme adalah sesuatu yang diajarkan kepada Anda. Setelah eksposur, orang menjadi lebih terbuka. Saya pikir generasi setelah kita juga akan lebih terbuka," ujarnya.
Terakhir kali, seorang guru memberinya masalah dan ia mulai membalas dengan komentarnya sendiri. Kemudian, lima atau enam siswa berbicara dengan guru tersebut atas nama Alsabagh, dan kehidupan menjadi lebih baik.
Ia menyebut ada harapan di Berlin.edia sosial adalah kekuatan yang ampuh untuk membantu menghubungkan orang. Media sosial juga memungkinkan pembicaraan tentang perbedaan dan individualitas. "Jangan pernah gusar. Itu tidak membantu. Itu hanya memperkuat opini yang mereka miliki," kata dia.