REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sembilan peneliti dari Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) melakukan penelitian tentang “Tradisi Keagaman dalam Manuskrip” pada Maret 2020 lalu. Penelitian ini mengungkapkan lima tradisi keagamaan yang ada di empat provinsi Indonesia.
Lima tradisi keagamaan tersebut adalah tradisi Palangkahan di Sumatera Barat, tradisi Mamaca Syekh di Banten, pembacaan Ratib al-Haddad dan Ratib Samman di DKI Jakarta, serta tradisi Nebus Weteng di Cirebon, Jawa Barat.
Dalam tradisi Pelangkahan sendiri langkah kaki memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Sumbar. Ketua Tim Peneliti BLAJ, Zulkarnain Yani, menjelaskan, istilah Palangkahan diambil dari kata “langkah”.
“Seseorang yang akan berjalan ada langkah pertama dalam perjalannya tersebut. Langkah dimaknai kegiatan awal yang menentukan momen-momen setelahnya,” ujar Zulkarnain dalam acara policy brief penelitian “Tradisi keagamaan dalam manuskrip” di Jakarta, Senin (10/8).
Dalam sebuah ungkapan agama atau maqalah juga disebutkan bahwa langah kaki pertama menentukan akhir kesudahannya. Menurut Zulkarnain, yang terdapat pada langkah pertama bisa jadi arahan sesuatu, doa-doa, dan harapan.
Dia menjelaskan, tradisi Palangkahan yang ada di Sumatra Barat merupakan salah satu kearifan lokal yang masih terus dilestarikan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
“Tradisi ini merupakan warisan leluhur secara turun temurun yang bersumber pada manuskrip yang dipegang oleh Buya atau Datuk tarekat,” ucapnya.
Zulkarnain mengatakan, tradisi ini berhubungan dengan hal-hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti mendirikan rumah, menentukan pasangan hidup untuk menikah, mulai bersawah dan berladang, menanyakan penyakit yang sedang diderita, batagak penghulu, taqwim khamsiyah, hingga kadar perjalanan seseorang ketika melawat atau merantau.
“Teks atau manuskrip yang digunakan sebagai rujukan di dalam pelangkahan sangat beragam dan ada di Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandia yang disimpan murid tarekat,” katanya.