Sabtu 08 Aug 2020 04:31 WIB
Narendra Modi

Memahami India, Menyelami Hindu, Mengupas Politik Modi

Politik dan Usaha Penghapusan Jejak Islam di India kala Modi berkuasa

PM India Narendra Modi (tengah) meletakan batu pertama pembangunan kuil Dewa Rama di bekas Masjid Babri di India.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, -- Phobia terhadap Islam di India masa kini memang tidak bisa dianggap enteng. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir sudah meletupkan konflik yang menyedihkan antara umat beragama Hindu dan Islam di negeri dengan penduduk 1,2 milyar jiwa yang berada di anak benua Asia itu.

Ini terindikasi misalnya dalam tulisan menarik yang dimuat dalam laman npr.org yang dimiliki lembaga non profit di Amerika. Dalam opininya pada 23 April 2019, NPR memuat tulisan Lauran Flayer pada 23 April 2019. Tulisan itu bertajuk cukup menggelitik:'India Is Changing Some Cities' Names, And Muslims Fear Their Heritage Is Being Erased' (India Mengubah Nama Beberapa Kota, Dan Orang Muslim Takut Warisan Mereka Dihapus).

Meski sudah berusia setahun, namun tulisan ini cukup mengena untuk memahami udara sosial-politik di India dalam kaitannya soal hubungan umat Hindu dan Islam yang terkadang meletup dengan keras melalui berbagai kerusuhan berdarah. Dan ini tampaknya juga sangat tidak sederhana karena sudah menyangkut soal struktur sosial, budaya, hingga kekuasaan atau politik di India hari-hari ini. Sebab, semua percaya bahwa dalam soal yang menyangkut hal tersebut --apalagi bila sudah menyangkut politik -- tak ada hal yang tidak bisa dikatakan sebagai kejaian yang kebetulan.

Tulisan Lauren Flayer selengkapnya begini:

---------------

Nama stasiun kereta api Mughalsarai India, dekat Varanasi, diganti pada tahun lalu menjadi Deen Dayal Upadhyaya. Tujuannya adalah untuk mengabadikan nama seorang pemimpin Hindu sayap kanan yang meninggal di sana pada tahun 1968.

Tak hanya itu, puluhan juta umat Hindu melakukan ritual berenang di Sungai Gangga musim pada dingin pada saat itu sebagai bagian dari festival keagamaan terbesar di dunia - Kumbh Mela. Selama berabad-abad, festival tersebut telah digelar di berbagai kota di India utara, termasuk Allahabad.

Tetapi ketika para peziarah tiba tahun ini untuk Kumbh Mela, kota Allahabad kemudian memiliki nama yang berbeda.

Tahun lalu, pejabat dari Partai Bharatiya Janata (BJP) dari kelompok Hindu nasionalis pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi mengubah nama Allahabad menjadi Prayagraj. Nama dalam kata yang merujuk pada situs ziarah Hindu di sana.

Publik India paham, sebutan atau nama Allahabad berasal dari abad ke-16, warisan seorang penguasa Muslim, Sultan Mughal Akbar. "Hari ini, pemerintah BJP telah memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh Akbar," kata seorang pejabat BJP ketika nama itu diubah.

  • Keterangan foto: Orang suci Hindu bernyanyi dan berpawai menuju tepi Sungai Gangga pada bulan Januari di festival Kumbh Mela. Tahun lalu, kota yang menjadi tuan rumah festival berganti nama dari Allahabad menjadi Prayagraj. Lauren Frayer / NPR

Perubahan nama itu tentu saja telah memicu kebingungan birokrasi. Pengadilan Tinggi Allahabad misalnya tetap mempertahankan namanya. Begitu juga Universitas Allahabad. Tapi kepala kantor pos kota itu mengatakan dia akan segera mengubah tanda-tanda di luar Kantor Pos Allahabad untuk mengatakan Kantor Pos Prayagraj - serta semua stempel perangko karet di dalamnya.

Penggantian nama Allahabad telah menjadi berita utama bukan karena kerepotan mengubah tanda, tetapi karena tren nasionalisme Hindu yang berkembang dalam politik India sekarang ini. Selama lima tahun terakhir masa BJP-nya Modi yang kini menjabat sebagai perdana menteri, para politisi nasionalis Hindu dari BJP ini telah mengganti nama kota, jalan, bandara, dan salah satu stasiun kereta api terbesar di India, bertukar nama yang mencerminkan warisan Muslim untuk yang Hindu.

Dengan melakukan itu, mereka merevisi peta India dan mencoba menulis ulang sejarahnya.

  • Keterangan foto: Umat Hindu mandi di Sungai Gangga pada bulan Januari 2019 di festival Kumbh Mela di Prayagraj, yang sebelumnya dikenal sebagai Allahabad.

    Lauren Frayer / NPR

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement