REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Alhamdulillah, hari ini kita sholat Idul Adha. Insya Allah kita beroleh pahala beribadah pada bulan Zulhijjah seperti yang dikatakan Nabi SAW, “Ada dua bulan yang tidak akan dikurangi (pahalanya ketika dikerjakan pada bulan tersebut). Kedua bulan itu adalah bulan hari raya, yakni Ramadhan dan Zulhijjah.” (HR. Bukhari).
Akar historis dan normatif sholat Idul Adha terungkap dalam firman Allah SWT, “Sungguh, Kami telah memberi nikmat yang banyak kepadamu. Oleh karena itu, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sungguh, orang yang membencimu, maka dialah yang terputus.” (QS. al-Kautsar/108). Inilah surah terpendek dalam al-Qur’an.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir yang dimaksud “nikmat yang banyak” adalah kebaikan yang berlimpah, yaitu kemuliaan Nabi SAW yang berdimensi duniawi dan ukhrawi. Secara sosio-historis kebaikan yang berlimpah disaksikan oleh para sahabat dan menjadi salah satu media dakwah Nabi SAW.
Tentang hal ini Syaikh Nawawi Banten menulis satu riwayat perihal Nabi SAW yang berada di tepi sebuah telaga yang ditemani oleh Ikrimah, anak Abu Jahal. Ikrimah berseloroh, “Jika engkau benar, perintahkanlah batu yang ada di seberang telaga itu supaya ia berenang agar tidak tenggelam.”
Rasulullah SAW kemudian memerintahkan kepada batu yang dimaksud dan batu itu pun bergerak dari tempatnya lalu mengambang di telaga itu hingga sampai di hadapan Nabi SAW dan membuat kesaksian terhadap kerasulan Nabi SAW. Sejurus, Nabi SAW berkata kepada Ikrimah, “Apakah cukup bagimu bukti ini?”
Ikrimah menjawab, “Bisakah batu itu kembali lagi ke tempat semula (baru aku anggap cukup)?” Segera Nabi SAW meminta kepada batu itu agar kembali lagi ke tempat asalnya dan batu itu menaati perintah Nabi SAW. Inilah salah satu dari sekian banyak “nikmat yang banyak” yang dikaruniakan kepada Nabi SAW.
Nikmat yang banyak ini juga turun melimpah kepada umat Nabi SAW. Misalnya nikmat iman, nikmat Islam, nikmat beribadah, nikmat beroleh sandang, pangan, papan dan lain sebagainya. Sebagai ekspresi syukut atas nikmat yang banyak itu maka Allah SWT memerintahkan untuk sholat dan berkurban.
Menurut Syaikh Nawawi Banten, kriteria sholat yang dipersembahkan untuk Allah SWT adalah sholat yang ikhlas, bukan karena riya. Sholat seperti inilah yang dapat dikatakan sebagai bukti syukur yang harus terus dilakukan. Karena sesungguhnya di dalam sholat terkandung berbagai ekspresi syukur, mulai dari takbir hingga salam.
Perintah sholat dalam ayat ini dirangkaikan dengan perintah berqurban. Maka, secara spesifik, sholat di sini dapat dimaknai dengan sholat Idul Adha. Karena memang, secara praksis, seusai sholat Idul Adha dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban yang waktunya mulai tanggal 10 hingga 13 Zulhijjah.
Yang menarik dari ayat ini ternyata bersyukur, sholat Idul Adha, dan berqurban adalah satu rangkaian ibadah yang berdimensi spiritual dan sosial. Dan apabila semua itu ditunaikan, Allah SWT berjanji, “Sungguh, orang yang membencimu, maka dialah yang terputus.” (QS. al-Kautsar/108). Inilah strategi dan taktik berjuang.
Bagi Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi yang dimaksud dengan “dialah yang terputus” adalah dia yang tidak mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Misalnya, ungkap Syaikh Nawawi Banten, Abu Jahal dan para begundalnya. Jadi, pahala sholat Idul Adha adalah dibukanya tabir kemenangan dalam perjuangan.