Selasa 28 Jul 2020 18:28 WIB

Islam di Uzbekistan, Ironi Sebuah Negeri Mayoritas Muslim

Meski mayoritas Muslim, namun kehidupan agama Uzbeksitan tak religius.

Meski mayoritas Muslim, namun kehidupan agama Uzbeksitan tak religius. Panorama kota Khiva Uzbekistan
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Meski mayoritas Muslim, namun kehidupan agama Uzbeksitan tak religius. Panorama kota Khiva Uzbekistan

REPUBLIKA.CO.ID, Uzbekistan, salah satu negara pecahan Uni Soviet, kini berpenduduk sekitar 23 juta jiwa. Sebagian besar mereka memeluk agama Islam Sunni (bermazhab Hanafi). Agama lain yang berkembang di sini adalah Kristen Ortodoks, Yahudi, dan sebagian kecil atheis.

Sepintas, bila dilihat dari bangunan madrasah yang megah, masjid dan tata krama penduduk di sana yang gampang melafalkan kalimat Asalamualaikum, ada rasa bangga sesama Muslim: bahwa di negara yang baru merdeka 1 September 1991 itu Islam masih kokoh. 

Baca Juga

Kesan angker sebagai negara bekas Uni Sovyet juga segera sirna manakala kita bertemu dengan penduduk setempat. Bila Anda mengaku Muslim, maka sikap ramah akan cepat Anda jumpai pada masyarakat setempat. Sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman, mereka biasanya menyertainya dengan ucapan Assalamualaikum.

Ketika mengucap salam itu, biasanya mereka menempelkan tangan kanan di dada sembari menganggukkan kepalanya. Dan yang paling menggembirakan, ternyata para Muslim Uzbekistan itu sangat bangga dengan keislamannya. ''Yes, I am Muslem,'' kata Abdul Madjid.   

Melihat kenyataan masyarakat Uzbekistan yang seperti itu, barangkali akan mengubah persepsi kita tentang pemerintah komunis (eks) Uni Sovyet. Dalam arti, meskipun komunis sempat berkuasa selama puluhan tahun di negeri Imam Bukhari itu, ternyata Islam tetap kokoh. Tapi apa benar demikian? Apa benar Islam benar-benar kokoh di sana? Ternyata tidak. 

Perkembangan Islam di sana sangat memprihatinkan. Ada perasaan sedih begitu kita mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya. Kebesaran nama sejumlah tokoh Islam seperti Imam Bukhari seperti tertelan zaman begitu melihat kehidupan Agama Islam di sana. 

Meski ada rasa kebanggaan sebagai Muslim, seperti diakui Abdul Madjid, ternyata mereka tidak pernah menjalankan ibadah ritual sehari-hari, sholat misalnya. Pada bulan Ramadhan, mereka juga tidak berpuasa. Mereka bahkan terheran-heran, ketika ditanyakan, mengapa mereka tidak sholat dan puasa. 

Menurut Abdul Madjid, banyak di antara Muslim Uzbekistan yang tidak tahu bahwa sholat, puasa, dan rukum Islam yang lain merupakan keharusan setiap umat Islam untuk menjalankannya. Selain itu, larangan Islam, seperti minuman beralkohol (minuman keras) juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. 

Alasannya, untuk memanaskan tuhun, terutama pada musim salju. Dan anehnya, sebelum menenggak menuman keras itu mereka tetap mengucapkan Basmallah. Hal lainnya yang sangat memprihatinkan, meskipun jumlah masjid tidak begitu banyak, tetapi tidak banyak pula orang yang sholat di sana. Di masjid tertua di Kota Tashkent (ibukota Uzbekistan) misalnya, terlihat hanya orang-orang tua, berumur di atas 50 tahunan, yang masih rajin sholat. Pemandangan seperti itu juga terlihat di masjid Imam Bukhari di Samarkand. 

Keprihatinan tentang kondisi masyarakat Muslim Uzbekistan ini akan semakin bertambah, manakala kita menengok sejarah Uzbekistan sendiri. Sebelum dicaplok oleh Uni Soyet yang komunis, Uzbekistan merupakan gabungan dari tiga buah kerajaan Islam, yaitu Bukhara, Khiva, dan Kokand yang pada tahun 1860-1870 berada di bawah pengaruh kekaisaran Rusia. Ketika itu Agama Islam begitu jaya di daerah ini. 

Beberapa kota di Uzbekistan, seperti Samarkhand, Bukhara dan Khiva merupakan pusat peradapan Islam yang dikenal sebagai jalur sutera yang menghubungkan Cina dengan Eropa. Samarkhand merupakan tempat dimakamkannya Imam Bukhari, yang dikenal umat Islam sebagai salah seorang perawi paling otentik ribuan hadis Nabi SAW. Sedang Bukhara adalah tempat kelahiran Imam Nakhsabandiyah, guru dan penyebar Tarekat Nakhsabandiyah, yang ratusan ribu pengamalnya kini tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Sisa-sisa kejayaan Islam yang masuk Uzbekistan sekitar abad ke-8 Masehi, kini masih bisa terlihat pada kemegahan arsitektur tempat-tempat ibadah dan pendidikan di negara itu. Dan yang paling menonjol adalah kompleks makam Imam Bukhari. Selain masjid, di sini juga terdapat sebuah madrasah. 

Di pusat kota Samarkhand, terdapat Registan Square. Dulu ini merupakan kompleks madrasah yang terdiri dari tiga bangunan dengan arsitektur yang sangat unik. Tiga madrasah yang ada di situ adalah: Madrasah Ulughbeg yang dibangun tahun 1417-1420, Madrasah Sher-Dor yang didirikan pada tahun 1619-1636, dan Madrasah Tillya-Kari yang dibangun tahun 1646-1660. Dulu di sini terdapat pula sebuah masjid. Tapi kini tinggal monumennya saja. Di dalam komplek Tillya-Kari terdapat museum dan bangunan kubah dengan ornamen dan mosaik yang sangat menakjubkan.

Samarkhand juga memiliki kompleks Shakhi Zinda, sekitar 1 km dari pusat kota. Komplek ini menggambarkan kota tua zaman kejayaan Islam abad ke-14. Di dalam kompleks ini terdapat lebih dari 20 bangunan yang terbagi menjadi tiga bagian yakni, bawah, tengah dan atas. 

photo
Madrasah Kukeldash di Tashkent Uzbekistan. - (Flickr)

Antara bangunan bawah menuju ke atas dihubungkan 40 anak tangga. Di setiap bangunan terdapat makam, dan salah satu makam yang terkenal adalah Makam Ibnu Abbas yang terletak di bagian atas. Kabarnya, Ibnu Abbas ini adalah saudara sepupu Nabi Muhammad SAW. Di sekitar kompleks ini dikelilingi oleh kuburan umum.

Di kota ini terdapat pula kompleks Gus-Emir, seorang tokoh penjuang negara itu. Komplek ini adalah sebuah karya seni bangunan Asia Tengah yang sangat terkenal di dunia. Konstruksinya dimulai tahun 1403 yang kemudian dihubungkan dengan kematian Sultan Muhammad, cucu Timur Leng. Di kompleks ini terdapat makam Timur Leng, Ulughbeg, Sultan Muhammad, keluarga dan kerabat Timur Leng.

Sebuah teropong bawah tanah juga terdapat di Samarkhand. Nama kawasan itu adalah Observatorium Ulughbeg yang dibangun tahun 1428-1429. Bangunannya berbentuk silinder, tiga lantai dengan ketinggian 30,4 meter dengan diameter 46,40 meter. Radius teropong yang ada di situ 40,21 meter, sehingga dapat mengukur koordinat bulan, matahari, dan planet-planet. Dari sini dibuat katalog bintang Zidj-i Guragoni. Setelah kematian Ulughbeg, observatorium ini jarang digunakan. 

Di Kota Bukhara, terdapat sebuah makam Samanid. Ini merupakan bagunan pertama di Asia Tengah yang dibuat dari batu bata. Bangunan berkubah ini dibangun oleh Sultan Ismail Samani pada akhir abad ke-9. Menurut cerita, kubah ini merupakan simbol dari keteguhan hati. Bukhara boleh dikata sebagai sebuah museum kota, karena di situ terdapat 140 monumen dengan arsitektur kota tua yang dibangun mulai abad ke 9. 

Di sini banyak terdapat bangunan istana, masjid dan tempat kegiatan keagamaan yang sampai kini masih terpelihara dengan baik. Sayangnya, semua karya kejayaan umat Islam di Uzbekistan itu kini hanya tinggal kenangan, lebih banyak menjadi objek wisata yang dijual ke orang asing. 

Sejak runtuhnya pengaruh komunis di negara-negara eks Uni Sovyet, berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaan agama Islam sudah mulai dirintis. Ini terlihat, antara lain dengan peningkatan jumlah pembangunan masjid. Sebelum tahun 1989, jumlah masjid di sini hanya 160 buah, tapi kini sudah ribuan buah.

Selain itu, telah diaktifkan pula institusi-institusi pendidikan Islam seperti madrasah-madrasah di seluruh negeri dan pendirian sebuah perguruan tinggi Islam di Tashkent. Barangkali tidak ada salahnya kalau umat Islam dari negara lain, juga dari Indinesia, ikut memberikan bantuan untuk pembangunan tempat-tempat ibadah dan membangkitkan kembali kecintaan masyarakat di sana terhadap Islam.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement