REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Yahudi berhasil membangun jaringan internasional yang kuat, baik sebagai ilmuwan jenius, pengusaha besar atau pemimpin lembaga terkemuka.
Inilah pelajaran penting yang bisa diambil umat Islam dari soliditas mereka menurut Salim TS al-Hassani, guru besar teknik mesin Universitas Manchester, Inggris.
Dominasi mereka, tambah Salim, sangat didukung oleh semangat zionis yang mampu melahirkan kolaborasi masyarakatnya di setiap pelosok dunia.
Wujud nyata dari semua itu adalah penguasaan iptek dan pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalin kolaborasi tersebut. Pendapat Salim, yang mungkin terkesan kontroversial, di atas, didasarkan pada kondisi riil yang melingkupi kaum Muslim Eropa.
Menurutnya, ini Muslim Eropa lebih terjebak dalam masalah kontemporer yang tak mendasar. Adanya prasangka religius dan rasial membangkitkan kelompok-kelompok ekstrem.
Padahal, dengan kualitas yang ada pada mereka, seharusnya mereka lebih bisa mengembangkan diri dan memperhatikan kondisi masyarakat domestiknya tanpa kehilangan simpati pada nasib umatnya.
Pula, menurut Salim, kaum Muslim Eropa harus meningkatkan keingintahuan mereka untuk membuka misteri proses-proses teknologi, lebih dari sekadar menelan materi dalam buku-buku teks. Muslim Eropa, karenanya, membutuhkan satu wadah untuk itu.
Setelah dilampauinya masa modern di Eropa, orang mulai menyadari bahwa kebutuhan tak hanya meliputi materi, kesehatan dan keamanan saja. Orang juga membutuhkan hal-hal spiritual. Muslim Eropa dapat memainkan peran di sini. Mereka juga mampu berperan dalam menutup jurang antara negara-negara maju dan berkembang.
Ajaran Islam mengenai dedikasi, kejujuran, tak egois, rendah hati, serta keyakinan terhadap keesaan Tuhan, memberikan kontribusi yang tidak kecil kepada perdamaian antara muslim dan non-Muslim di Eropa.
Peran katalitik inilah yang sangat penting dimainkan Muslim Eropa. Melalui merekalah, diharapkan, terjadi transfusi teknologi ke negara-negara Islam, sistem perdagangan internasional serta hubungan diplomatik yang lebih imbang antara negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan lainnya.
Melalui ilmuwan Muslim Eropa, diharapkan terjadi alih ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih sesuai dengan aspirasi Islam. Karena dari semua masyarakat Islam, merekalah yang lebih mengerti tentang bagaimana dunia berkembang dan maju. Meskipun demikian, kata Salim dalam makalahnya, tetap perlu dikembangkan teknologi alternatif yang tak hanya menggantungkan diri pada negara maju.
Pendeknya, Muslim Eropa memegang fungsi yang sentral dalam reformasi dunia Islam. Meskipun, seperti dilukiskan oleh Salim, akan banyak tekanan dan tantangan berat yang mesti mereka hadapi.
Meski Muslim Eropa secara kultural sulit dipisahkan dari budaya tempat mereka tumbuh dan berkembang, mereka memiliki keterikatan kuat dengan akar budaya Asia dan Afrika: social origin keyakinan mereka.
Sekarang, meski tetap terkecil dari keseluruhan masyarakat Eropa, jumlah mereka tetap meningkat. Pemeluk Islam, dan mereka yang menyebut dirinya bagian dari masyarakat Islam, terus meningkat jumlahnya. Kebanyakan mereka berusia muda, berpendidikan dan profesional di bidangnya. Sebagian adalah para ilmuwan, insinyur, dan pengusaha.
Dalam berbagai pilihan paradigma pembangunan yang dijalankan oleh negara-negara Islam, tidak banyak yang memasukkan unsur manusia. Paling jauh yang dipertimbangkan adalah faktor kesehatan dan keselamatan kerja. Namun saat ini, seiring dengan meningkatnya kebutuhan orang akan spiritualitas faktor manusia dalam pembangunan juga kian diperhitungkan.
Pembangunan, dengan demikian, tidak hanya ditujukan untuk menyejahterakan manusia secara fisik, tapi juga secara batin. Dan Muslim Eropa, yang berada pada garda depan pemikiran dan kemajuan iptek, diharapkan menjadi lokomotif yang akan mengantar umat Islam ke zaman keemasannya kembali.