REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Ketegangan antara Al-Azhar sebagai otoritas agama Islam Sunni tertinggi, dan pemerintah Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi telah meningkat dalam beberapa hari terakhir. Hal itu terjadi setelah Dewan Perwakilan Rakyat Mesir menyetujui rancangan undang-undang yang mengatur kegiatan Dar al-Ifta, lembaga yang berafiliasi dengan Al Azhar yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa agama.
RUU tersebut telah diajukan kepada Dewan Negara untuk ditinjau sebelum pengesahan terakhirnya oleh parlemen. Mereka berupaya mengatur kembali Dar al-Ifta beroperasi termasuk mekanisme pemilihan pemimpin yakni grand mufti, mandatnya dan lama masa jabatannya. Jika RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, Dewan Sarjana Senior Al-Azhar (CSS) tidak akan lagi memilih mufti melalui pemungutan suara secara rahasia, metode pemungutan suara yang diperkenalkan oleh mendiang Presiden Mohammed Morsi pada 2012.
Nantinya, RUU tersebut menetapkan CSS, yang terdiri dari 40 cendekiawan terkemuka Al-Azhar, akan mencalonkan tiga ulama baik dari anggota sendiri atau dari luar dewan untuk posisi itu dan itu akan sampai ke tingkat presiden untuk memilih dari ketiganya diangkat sebagai mufti. Presiden juga akan diberikan wewenang memperpanjang masa jabatan mufti atau menggantikannya ketika yang mencapai usia pensiun 60 tahun.
“Undang-undang yang diusulkan akan menempatkan badan hukum Islam di bawah naungan Kabinet alih-alih di bawah perlindungan Kementerian Kehakima sejak berdirinya Dar al-Ifta pada 1895, itu juga menunjuk Dar al-Ifta sebagai lembaga keagamaan otonom yang bebas mendapatkan kebebasan finansial, teknis dan administrasi,” ujar anggota parlemen liberal Mohamed Abu Hamed, yang telah mempelopori kampanye untuk melarang niqab di Mesir, kepada Al-Monitor, Jumat (24/7).
Ini berarti Dar al-Ifta tidak lagi berfungsi sebagai badan penasihat dan peradilan Al-Azhar, tetapi akan berfungsi sebagai entitas yang terpisah. Selain itu, nantinya RUU menetapkan kerangka hukum dan peraturan untuk pemilihan dan penunjukan ulama fatwa dalam mendefinisikan metodologi dan menetapkan pembentukan komite ahli hukum.
Mereka akan mengungkapkan pendapat hukum tentang hal-hal yang dirujuk oleh mufti kepada mereka. Termasuk perselisihan keluarga, perselisihan warisan dan hukuman mati, yang secara tradisional dirujuk ke mufti oleh pengadilan untuk keputusan akhir tentang hukuman tersebut.
Sebuah pusat pelatihan juga akan didirikan untuk memenuhi syarat para ahli hukum dan membekali mereka dengan keterampilan yang mereka butuhkan. Mereka dapat menyelesaikan studi mereka sertifikasi terakreditasi dari Dewan Universitas daripada dari Al-Azhar.
"Adalah penting para ahli hukum tidak hanya memiliki pengetahuan tentang doktrin Islam, mereka juga harus mempelajari mata pelajaran lain selain fiqih seperti psikologi. Mereka juga harus menyadari hal-hal duniawi dan perubahan yang terjadi di sekitar mereka seperti kemajuan teknologi,” kata Abu Hamed.
Ini penting karena para ahli hukum memberikan pendapat hukum yang tidak mengikat yang mengungkapkan hukum Islam untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari individu, hakim, atau pemerintah. Rancangan undang-undang juga menetapkan bahwa gelar Grand Mufti Republik digantikan oleh Mufti.
Pemerintah kemudian menyesuaikan jabatan mufti sama dengan menteri kabinet dalam hal status dan gaji. Sebelumnya, RUU ini diajukan oleh Osama al-Abd, kepala Komite Keagamaan dan Wakaf Parlemen dan dirancang oleh lebih dari 60 deputi kemudian mendapat tentangan keras dari Al-Azhar.
Dalam sebuah surat yang dikirim ke Ketua parlemen Ali Abdel Aal sebelum sidang parlemen 18 Juli di mana rancangan undang-undang tersebut disahkan, Al-Azhar mengecamnya sebagai tidak konstitusional dan upaya merusak kebebasan Al-Azhar. Al-Azhar menyarankan beberapa ketentuan undang-undang yang diusulkan diubah agar sejalan dengan pasal-pasal dalam konstitusi yang menyatakan badan keagamaan Islam apa pun adalah bagian integral dari Al-Azhar dan bahwa yang terakhir harus mengawasi pekerjaan semua lembaga keagamaan. Al Azhar juga menyebut rancangan undang-undang suatu pelanggaran pada kekuatan dan independensi CSS.
Anggota parlemen Omar Hamroush, anggota Komite Urusan Agama dan Wakaf mengaku tidak terlalu mempermasalahkan kritik dari Al Azhar. Dia mengatakan Al-Azhar telah menyatakan beberapa keberatan terhadap RUU tersebut, semua itu telah dipertimbangkan dan dibahas.
"Sekarang tergantung pada parlemen untuk sepenuhnya mendukung rancangan undang-undang tersebut dalam sidang paripurna berikutnya," kata dia.
Sebenarnya ketegangan telah sering terjadi antara Al Azhar dan pemerintah. Keretakan antara Al-Azhar dan otoritas legislatif dan eksekutif melebar pada akhir 2018 setelah parlemen membahas rancangan undang-undang yang mengatur fatwa di media.
Di bawah undang-undang yang diusulkan, hanya ahli hukum dari Dar al-Ifta, Kementerian Agama dan Wakaf, CSS dan Pusat Penelitian Al-Azhar yang dapat memberikan pendapat hukum tentang hal-hal yang menyangkut Syariah. Selain itu, mengeluarkan fatwa melalui saluran siaran akan memerlukan izin dari otoritas terkait.
Al-Azhar menentang kementerian yang memiliki peran dalam penerbitan fatwa, melihat ini sebagai perambahan pada tugasnya. Terlepas dari penolakannya terhadap RUU tersebut, banyak harapan bahwa parlemen akan mendukung RUU tersebut dalam beberapa pekan mendatang, menurut Hamroush yang mengajukan undang-undang yang diusulkan.
"RUU yang mengatur fatwa tepat waktu dan perlu mengingat fatwa ekstremis yang baru-baru ini muncul melalui saluran TV satelit dan perangkat media lainnya, menciptakan kebingungan dan menebarkan perselisihan di masyarakat," katanya.
Hamroush jelas mengacu pada fatwa yang telah memicu kontroversi di media sosial dengan menghasut dengan kekerasan terhadap orang Kristen. Awal tahun ini, sebuah fatwa yang disengketakan oleh seorang ulama Al-Azhar yang menyatakan Muslim dilarang menawarkan zakat kepada non-Muslim, dengan cepat ditarik kembali setelah memicu kemarahan dari para aktivis media sosial.
Di antara fatwa yang dinilai diskriminatif lainnya adalah melarang muslim berdoa memohon belas kasihan bagi non-Muslim setelah mereka mati dan yang lain melarang umat Muslim menyapa orang Kristen selama perayaan mereka.
Menurut Abu Hamed, rancangan undang-undang datang sebagai tanggapan atas seruan Sisi untuk mereformasi wacana keagamaan dan berasal dari kebutuhan untuk memerangi ekstremisme. “Perlawanan dari Al-Azhar terhadap undang-undang yang diusulkan bukanlah hal baru atau mengejutkan, Al-Azhar selalu menentang perubahan dan ingin mempertahankan hegemoni atas institusi keagamaan termasuk Dar al-Ifta. Itu terus memainkan peran perlindungan atas afiliasinya, meninggalkan mereka dengan sedikit ruang atau kebebasan untuk melakukan tugas mereka, terutama jika ini berarti merangkul perubahan,” katanya.
Namun, oposisi pemerintah berpendapat bahwa pemerintah menggunakan lembaga-lembaga Islam seperti Dar al-Ifta untuk mendapatkan keuntungan politik lebih lanju. Melihat sekilas akun Twitter Dar al-Ifta dapat mengonfirmasi kecurigaan mereka, Timeline-nya dipenuhi dengan tweet yang mengagungkan tentara dan yang lainnya menjelek-jelekkan Ikhwanul Muslimin "teroris". Itu adalah tanda-tanda mengkhawatirkan politisasi lembaga keagamaan yang perannya menawarkan bimbingan dan nasihat keagamaan umat Islam.
Sebaliknya, kicauan lebih dari 325 ribu pengikut Dar al-Ifta menunjukkan bahwa undang-undang baru, yang membawa badan hukum Islam langsung di bawah kendali pemerintah, ini membuka jalan bagi pemerintah untuk mengendalikan narasi keagamaan dengan Dar al-Ifta berfungsi sebagai juru bicara bagi pemerintah.