REPUBLIKA.CO.ID, Ulama legendaris Tanah Air, Buya Hamka, mengungkapkan, pertanyaan tentang Yang Mahaada itu sama purbanya dengan ketika manusia mendiami bumi. Kesan pertama tentang-Nya merata pada segenap manusia.
Dia tumbuh berbarengan dengan berjalannya akal. Dia mengetuk-ngetuk pintu sanubari tentang sesuatu kekuatan tersembunyi di latar alam yang tampak ini.
Karena itu, manusia melakukan pemujaan kepada benda-benda yang tinggi. Semasa manusia hidup di gua, mereka menyembah rimba, kayu, hingga batu.
Mereka pun menyembah gunung. Setelah berpindah dari gua satu ke gua lainnya, mereka mulai menyembah air yang mengalir. Mereka juga menyembah makhluk di dalamnya, semacam ikan. Pada masa perburuan, mereka memuja binatang-binatang yang terasa berhubung dengan suku-suku.
Ketika kehidupan itu telah maju dan berpindah ke zaman ber cocok tanam, ada semacam pertalian yang tumbuh di antara langit dan bumi. Mereka mulai memahami jika kesuburan tanam- tanaman ternyata ber gan tung pada hujan dari langit. Tangan mereka pun mulai menengadah ke langit.
Nusantara juga kaya dengan rasa spiritualisme.
Banyak jejak sejarah mengenai beragam bentuk kepercayaan para nenek moyang sebelum adanya agama. Kepercayaan tersebut bahkan ada yang masih bertahan hingga sekarang.
Di dalam dongeng Cindur Mato misalnya, tersebut bahwa raja-raja Minangkabau berasal dari keturunan Indra Jati yang tak lain dewa dari langit. Dia memiliki kuda bertuah bernama si Gumarang, kerbaunya bernama si Benuang, sementara ayamnya si Kinantan. Dia juga memiliki keris Sampena Ganja Iras.
Perjalanan sejarah manusia dalam hal spritiualisme amat pan jang. Setelah menerawang, berpikir, merenung, hingga sam pai di ujung perjalanan, sampai lah dia pada Yang Mahamutlak. Puncaknya pada ideal (Plato).
Tao yang tak diberi nama (Lao Tze) dan Allah (Muhammad). Meski demikian, tidak sedikit kaum yang mendeklarasikan ketiadaan Tuhan.
Pada era Yunani pun, sebelum masa Socrates, hidup De mocritos yang berpandangan ti dak ada tuhan di belakang benda yang nyata.
Pada masa modern, Nietzche bahkan lebih radikal dengan dalilnya yang menyatakan tuhan telah mati. Tokoh lainnya adalah Karl Marx yang mengungkap jika agama adalah candu.
Hamka menyebut sikap tersebut sebagai upaya untuk membantah adanya Yang-ada. Menurut dia, keraguan itu timbul saat manusia menggunakan pikiran.
Terkadang, sekeras-kerasnya membantah, terdapat bukti jika bantahan itu bukan dari lubuk jiwanya. Terkadang, dia mencoba jalan filsafat sampai berlari sejauh mungkin. Pada akhirnya, dia tertumbuk kepada dinding yang tak kuasa untuk diseberangi lagi. Dia kepayahan untuk mengumpulkan bukti-bukti tentang ketiadaan itu.
Pertanyaan sederhana mengenai mengapa alam ini diciptakan dari tidak ada kemudian ada dan berujung kepada ketiadaan pun belum bisa dijawab. Bukankah jika benar tidak ada Yang Mahapencipta, tidak perlu alam itu diadakan? Mereka pun tersesat di dalam pengembaraan akal sendiri karena tidak mendengar fitrahnya di dalam jiwa.
Pengakuan kita sebagai hamba merupakan fitrah sebagai seorang makhluk. Tidakkah kita ditanya dan disuruh bersaksi tentang Zat Sang Mahapencipta?
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
"Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Rabb mu.' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Rabb kami). Kami men jadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS al-Araf: 172).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini mengungkapkan bahwa Allah SWT telah mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka untuk mengadakan persaksian atas diri mereka. Allah adalah Tuhan dan pemilik mereka, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia.
Allah SWT menjadikan hal tersebut di dalam fitrah dan pembawaan mereka, seperti yang disebutkan oleh Allah SWT. Melalui firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (QS ar-Rum: 30).
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
كُلّ موْلودٍ يُولدُ على الفِطرَة فأبواه يُهَوِّدانه أو يُنصِّرانه أو يُمجسّانه
"Setiap anak dilahir kan dalam keadaan fitrah (suci) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.”