Kamis 16 Jul 2020 22:09 WIB

Penempatan Ketuhanan Berkebudayaan, Pemikiran Soekarno?

Soekarno tetap menegaskan Indonesia adalah negara berketuhanan.

Soekarno tetap menegaskan Indonesia adalah negara berketuhanan. Ilustrasi Pancasila
Foto:

Akar Tunggang

Bukan kali ini Soekarno disalahpahami. Pada 2017, Muhammad Rizieq Shihab, pimpinan Fron Pembela Islam (FPI) menyebutnya telah “mempantatkan ketuhanan”, karena meletakkan nilai itu sebagai sila kelima. Ini yang membuat Shihab menyebut Pancasila 1 Juni sebagai ideologi sekuler, yang berbeda dengan “Pancasila Islami” versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945. 

Dalam kaitan ini, Romo Nicolaus Driyarkara memiliki jawaban. Dalam Pertemuan Pancasila dan Religi (2006: 861), Driyarkara mencoba menjelaskan kerangka berpikir Soekarno. Menurutnya, penempatan ketuhanan sebagai sila kelima (dalam konteks pemikiran Soekarno) sudah tepat, karena ketuhanan “bukan karya langsung” negara.

Menurut Driyarkara, “karya langsung negara” ialah nilai-nilai politik, berupa kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan sosial. Artinya negara, terutama negara nasional (bukan negara agama) didirikan dengan tugas memuliakan nilai-nilai politik ini. Bukan untuk menerapkan hukum Tuhan. 

Pertanyannya, apakah dengan demikian negara tersebut sekular? Tentu tidak. Karena nilai-nilai politik itu dibangun di atas dasar ketuhanan. Dan tepat di sinilah maksud Soekarno. Ia membangun nilai-nilai politik Pancasila di atas “akar tunggang” ketuhanan. Tanpa ketuhanan, semua nilai politik tersebut menjadi profan, sekular. 

Pada 1928, untuk menganggapi kesangsian Haji Agus Salim atas nasionalismenya yang dianggap sekular, Soekarno menyatakan, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’, dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam Roh’, sebagai yang saban-saban dikhutbahkan  Bipin Chandra Pal, pemimpin India jang besar itu” (Soekarno, 1963: 112).

Ini berarti, Soekarno memahami dan menghayati nasionalisme secara spiritual. Ia menerimanya sebagai wahyu dan mengamalkannya sebagai bakti ketuhanan. Untuk itulah ketika merumuskan Pancasila, ketuhanan ia jadikan dasar bagi ide-ide politiknya. Ide-ide politik Pancasila telah ia racik sejak 1920 dalam bentuk sosio-nasionalisme (kesatuan sila kebangsaan dan sila kemanusiaan) serta sosio-demokrasi (kesatuan sila kerakyatan dan sila kesejahteraan sosial). Ketika diasingkan di Ende, Flores pada 1934, ia menemukan ketuhanan sebagai nilai dan konsep yang harus dimasukkan untuk menyempurnakan karya besarnya. Dan benar, ketuhanan lalu menyempurnakan perjalanan intelektualnya, sehingga paripurna menjadi Pancasila. 

Kalaupun ia menyebut “mazhab” ketuhanannya sebagai ketuhanan berkebudayaan, itu artinya ia ingin membaktikan diri kepada Tuhan secara kebudayaan. Dalam akar katanya, kebudayaan ialah pendayaan budi. Sebuah proses mengaktifkan budi, sehingga segala kebijaksanaan tidak hanya menjadi mutiara terpendam, melainkan karya nyata bagi keadaban hidup manusia. Jika seperti ini makna kebudayaan itu, lalu apa yang salah dengan ketuhanan yang berkebudayaan?

 

*Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Penulis buku Falsafah Kebudayaan Pancasila (Gramedia Pustaka Utama, 2016)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement