REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menjadi kaya memang baik dan sangat dianjurkan dalam agama. Namun demikian, bukan berarti ketika manusia menjadi miskin setelah berusaha merupakan status yang dikucilkan dalam Islam.
Bahkan dijelaskan dalam hadits tentang bagaimana kemiskinan dapat menjadi ladang pahala. Rasulullah SAW bersabda:
إنَّما يَنصرُ اللَّهُ هذِهِ الأمَّةَ بضَعيفِها، بدَعوتِهِم وصَلاتِهِم ، وإخلاصِهِم
“Innama yanshurullahu hadzihi al-ummata bidha’ifiha bida’watihim, wa shalatihim, wa ikhlashihim.”
Yang artinya: “Sesungguhnya Allah menolong umat ini (kaum miskin) dengan sebab orang-orang lemah mereka dia antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keiklasan mereka.”
Rasulullah juga pernah berkata bahwa penghuni surga mayoritasnya dihuni orang-orang miskin. Rasulullah juga bersabda:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ المَسَاكِينِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Allahumma ahyini miskinan wa amtini miskinan wahsyurni fi zumratin al-miskini yaumal-qiyamati.”
Yang artinya: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, matikanlah aku sebagai seorang miskin, dan giringlah aku pada hari kiamat bersama kelompoknya orang-orang miskin.”
Tentu saja, harapan Rasulullah SAW itu perlu dipahami secara komprehensif. Meski Rasulullah mencintai orang-orang miskin, bukan berarti Rasulullah menganjurkan umatnya hidup dalam kemiskinan.
Maksud dari hadits tersebut adalah cintanya Rasulullah terhadap kesabaran orang-orang miskin atas ujian kemiskinan yang mereka terima.
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim An-Nawawi menjelaskan, orang miskin yang bisa bersabar dalam kemiskinannya sangatlah mulia.
Meski dia kerap dieremehkan masyarakat, dianggap hina, dan stigma status sosial lainnya, namun dia mampu hidup dalam kesabaran maka beliau meyakinkan bahwa orang-orang semacam itu akan hidup di dalam surga.
Terdapat kisah tentang kesabaran seorang lelaki miskin Badui yang menghibur istrinya dalam kemiskinan juga. Dalam buku Struktur dan Makna Matsnawi Rumi karya Sayed G Safavi dijelaskan, sang suami asal Badui itu menghibur istrinya bahwa hidup di dunia hanyalah sementara.
Dia kemudian berkata kepada istrinya untuk jangan melihat kelebihan dan kekurangan dari kehidupan yang dilalui. Entah kehidupan itu bermasalah atau tidak, hal itu tidaklah penting karena hidup tidaklah kekal.
Hewan hidup dengan bahagia tanpa memikirkan pasang-surut kehidupan dan merasa cemas. Burung bulbul, elang, dara, dan semua hewan, dari serangga hingga gajah, tergantung pada Allah untuk pemeliharaan mereka.
Semua kesedihan sejatinya timbul dari keberadaan manusia dan hawa nafsu. Dan itu merupakan godaan yang perlu dilewati manusia.
Lelaki Badui ini mengatakan bahwa setiap kesedihan adalah sepotong kematian yang harus disisihkan. Jika manusia tidak dapat menerima ketentuan, maka ia akan ‘mati’. Tetapi jika manusia sanggup untuk menahan penderitaan itu, maka Allah akan membuat segalanya berakhir manis.
Kesedihan datang dari kematian sebagai pembawa pesan agar jangan manusia memalingkan wajahnya dari Allah SWT.
Siapapun yang hidup dengan manis akan mati dengan pahit, siapapun yang melayani tubuhya maka dia tidak akan selamat.
Lelaki Badui itu kemudian berkata: “Hari telah fajar, berapa lama jiwaku bermimpi tentang emas? Kau pernah menadi emas dan kini kau menjadi pencari emas. Kau pernah menjadi pohon anggur yang subur tetapi kini kau telah membusuk. Buahmu busuk terlalu masak ketika seharusnya kau menjadi lebih manis,”.
“Kau adalah istriku, tetapi pasangan serasi harus seperti sepatu. Ketika aku bergerak menuju kepuasan dengan bulat hati, mengapa kau malah mencerca (kemiskinan yang datang padamu)?”.
“Jangan pandang dengan hina orang miskin, tetapi pandanglah ia sebagai ciptaan Allah yang sempurna. Jangan biarkan pikiran dan pendapat angkuhmu tentang kemiskinanmu membuatmu mengejek kemiskinan dan mencerca orang miskin.”