REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Berlaku adil bukanlah membagi sesuatu secara sama rasa dan sama rata. Prinsip berlaku adil harus proporsional. Di dalam Islam, spektrum berlaku adil sangat bersegi banyak. Misalnya, dalam hal menetapkan hukum, memberi hak kepada orang lain, menghadapi orang yang tidak disukai, termasuk dalam hal berbicara dan kesaksian.
Dalam menetapkan hukum, Nabi SAW mengajarkan, “Apabila kalian memutuskan hukum, lakukanlah dengan adil. Dan apabila kalian membunuh lakukanlah dengan ihsan, karena Allah itu Maha Ihsan dan menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (HR Thabrani). Membunuh dalam konteks ini adalah memberi hukuman qishash (yang setimpal).
Untuk itu, Nabi SAW memberi kabar bahwa ada pahala bagi orang yang berlaku adil. Di antaranya adalah akan dinaungi oleh Allah SWT pada hari kiamat, “Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, (salah satunya) adalah pemimpin yang adil.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks politik Islam, keadilan adalah ujuan umum sekaligus tujuan akhir pemerintahan Islam. Bahkan secara sosio-historis, bangsa-bangsa sebelum Islam, seperti Kristen Romawi dan Yunani telah mempraktikkan keadilan dengan cara mereka masing-masing dan dengan batasan yang mereka tentukan sendiri.
Berbeda dengan mereka, batasan dan perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam Alquran. Misalnya, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. al-Nisa/4:58).
Menurut al-Thabari dalam kitab tafsirnya, ayat 58 surat al-Nisa adalah seruan dari Tuhan kepada orang yang mengurus kekuasaan kaum muslimin agar melaksanakan amanat kepada yang memberi tanggung jawab, yakni rakyat, baik terkait hak maupun kewajiban. Hal itu bisa diraih dengan cara menegakkan keadilan di antara mereka dalam segala hal.
Terkait ini, Nabi SAW mewanti-wanti,”Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu binasa lantaran apabila ada seorang tokoh terhormat mencuri mereka membiarkannya, tetapi apabila ada seorang lemah mencuri mereka melaksanakan hukum atasnya. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya aku akan potong tangannya.” (HR. Muslim).
Berdasarkan ayat dan riwayat, maka kian jelas bahwa keadilan secara umum adalah melaksanakan hukum Tuhan. Spektrum keadilan meliputi makna umum dan makna khusus. Bagi Dhiauddin Rais dalam karyanya al-Nadzriyat, keadilan mengandung makna memberikan keseimbangan, menciptakan persamaan, dan mengakui hak-hak pribadi.
Menurutnya, penegakan keadilan terkait juga dengan keadilan dalam hukum, dalam keuangan, dan keadilan dalam penegakan hak asasi manusia, termasuk keadilan dalam pembangunan dan kalangan minoritas. Bila semua bentuk keadilan ini diabaikan, tulis Muhammad Asad dalam The Principle of State, maka akan terjadi penindasan dan kezaliman.
Pahala berlaku adil berikutnya adalah akan dicintai oleh Allah SWT, seperti firman-Nya, ”Dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Hujurat/49: 9). Kalau Allah SWT sudah mencintai seseorang, maka semua makhluk juga akan mencintainya, yang ada di langit dan juga di bumi.
Nabi SAW bersabda, ”Jika Allah mencintai seseorang, Dia menyeru Jibril, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, cintailah ia”. Jibril lalu mencintainya. Lantas Jibril menyeru penduduk langit, ”Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, cintailah ia.” Penduduk langit pun mencintainya. Akhirnya, cinta itu diteruskan bagi penduduk di bumi” (HR. Bukhari).