REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jatim meminta, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak saja ditunda pembahasannya, tapi juga dibatalkan atau dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Permintaan itu disampaikan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jatim, Kiai A Hamid Syarif, kepada Menkopolhukam Mahfud MD, saat menggelar dialog di Gesung Negara Grahadi, Surabaya, Ahad (5/7).
"Sekarang masih menggelinding. Sepanjang tidak ada pencabutan atau pembatalan, aksi (penolakan RUU HIP ini akan terus menggelinding," ujar Hamid.
Hamid berpendapat, jika aksi-aksi penolakan RUU HIP terus membesar, akan sangat bahaya. Apalagi, saat ini Indonesia tengah bergelut dengan wabah Covid-19.
Selain itu, kata dia, pada Desember, beberapa daerah di Indonesia akan melangsungkan hajatan akbar, yakni pilkada serentak.
"Saya tidak bisa membayangkan ketika digelar pilkada serentak, muncul unjuk rasa besar-besaran," ujar Hamid.
Hamid juga mengkhawatirkan adanya unjuk rasa tandingan dari mereka yang setuju dengan RUU HIP. Ketika itu terjadi, bukan tidak mungkin konflik besar akan terjadi.
Tidak saja konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, tapi juga konflik horisontal, yakni antara masyarakat yang menolak RUU HIP dengan masyarakat yang mendukung.
"Kalau ini terjadi akan muncul konflik, bisa vertikal, bisa konflik horizontal. Dalam kondisi begini khawatir ada aliran yang muncul menyusup," kata Hamid.
Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan, pemerintah tidak bisa mencabut atau membatalkan RUU tersebut, karena itu merupakan usulan DPR RI.
Maka dari itu, langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menolak membahas RUU tersebut, dan menyampaikannya ke DPR. Pemeritah, kata dia, telah menyampaikan penolakan pembahasan itu ke DPR pada 16 Juni 2020.
"Presiden tegas neyatakan kembalikan itu ke DPR. Presiden tidak berniat membahas itu di tengah pandemi dan minta ditinjau kembali. Presiden meminta DPR meninjau kembali, mengundang elemen masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat terkait RUU tersebut," ujar Mahfud.
Pada dasarnya, kata Mahfud, pemerintah menolak seluruh materi RUU HIP yang berkaitan dengan tafsir Pancasila. Dimana dalam RUU tersebut disebutkan Pancasila bisa diperas menjadi Trisila, bahkan Ekasila.
Menurutnya Pancasila tidak boleh ditafsirkan dalam undang-undang tertentu. "Karena tidak boleh lagi ditafsirkan Pancasila itu di dalam sebuah UU. Tapi difasirkan di banyak UU. UU Ekonomi tafsir Pancasila, Pendidikan tafsir Pancasila. Tidak boleh ditafsirkan dalam satu UU," ujar Mahfud.
Mahfud menyatakan, jika RUU HIP tersebut dimaksudkan hanya untuk membentuk sebuah lembaga yang diisi tokoh bangsa, demi menjaga Pancasila, tidak ada masalah.
Walaupun, kata dia, sebenarnya badan tersebut sudah ada, tanpa harus di Undang-Undang-kan. Dimana saat ini Indonesia telah memiliki BPIP, yang itu diosi tokong-tokoh bangsa dari berbagai agama.
Mahfud menyatakan, telah banyak elemen masyarakat yang menyampaikan penolakan terhadap RUU HIP. Karena mereka khawatir, komunisme di Indonesia akan hidup lagi, jika RUU itu disahkan. Karena di dalam RUU yang dijukan tidak ada TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
"Padahal itu yang menghalangi komunis. Kok itu tidak dipasang. Dan ditafsirkan lagi Pancasila lalu diselewengkan dari aslinya. Dijadikan Trisila atau Ekasila, padahal aslinya ada 5, Panca. Pemerintah merespon itu, dan setuju dengan (penolakan RUU HIP) itu," ujar Mahfud.