REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penulis dan aktivis hak asasi manusia (HAM), Pastor Cedric Prakash memandang ada krisis pada rezim India saat ini. Menurut dia, pemerintahan India kini tidak sensitif menanggapi kesulitan dan tangisan rakyatnya karena pandemi Covid-19. Sebaliknya, dia menuduh pemerintah malah memicu berbagai bentuk pertikaian dan protes.
Mengutip miligazzete, Ahad (6/7) dia menambahkan, perbuatan terbaru yang melanggar HAM di India adalah perlakuan brutal pada tahanan polisi yang kemudian menyebabkan kematian.
Menurut dia, P Jayaraj (59) dan putranya J Bennicks (31) yang ditangkap pada 19 Juni lalu, disebut-sebut telah disiksa polisi ketika dilakukan pemeriksaan terkait ‘dugaan’ pembukaan toko ponsel mereka saat jam malam berlangsung.
Ketika ayah dan anak itu dikirim ke rumah sakit pemerintah Kovilpatti pada 22 Juni; putranya meninggal malam itu juga. Sementara sang ayah menghembuskan nafas terakhir di pagi keesokan harinya.
Berdasarkan keterangan dari rekan Bennicks, pada awalnya dia ada saat polisi membawa ayah dan anak itu ke kantor polisi. Bahkan, mereka juga ikut ke kantor polisi. Ketika berada di kantor, dirinya mengaku mendengar tangisan ayah dan anak itu selama beberapa jam, dan para polisi diketahui menyiksa mereka.
“Kami akan membuat video di depan pengadilan untuk mengekspos kebohongan polisi,’’ ujar temannya. Alhasil, atas pernyataan itu, kini pihak berwenang tengah mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat.
Lebih lanjut, Madurai Bench dari Pengadilan Tinggi Madras telah mengetahui pembunuhan tahanan Jayaraj dan Bennicks. Dalam pernyataan pada 30 Juni lalu, pengadilan itu juga telah mengimplikasikan jangkauaanya lebih jauh.
“Menurut pendapat kami, cedera ante-mortem ditemukan pada tubuh orang yang meninggal, ditambah dengan rata-rata dalam laporan hakim pengadilan, terutama pernyataan kepala polisi Revathy, akan cukup mengubah kasus terhadap polisi Sattankulam, yang secara aktif terlibat dalam penyelidikan kasus ini menjadi satu di bawah Bagian 302 dari KUHP India (pembunuhan)." tulisnya.
Prakash menambahkan, pada 2 Juli, lima polisi yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan kematian tahanan ini telah ditangkap. Sedangkan, satu polisi wanita lain menjadi saksi mata atas kekerasan yang dilakukan rekannya.
Namun demikian, bagaimanapun ayah dan anak itu tak akan kembali hidup lagi, sehingga masyarakat berharap agar hukuman setimpal bagi tersangka bisa dijalankan.
Dia menambahkan, kasus itu hanyalah segelintir lainnya dari ketidakadilan yang kini terjadi di India. Khususnya, rahasia umum yang berkaitan dengan pembunuhan pemuda Muslim atas tuduhan palsu beberapa waktu lalu.
Prakash berpendapat, meski pihak berwenang dan tersangka lain termasuk polisi telah dipenjara, berbagai tuduhan dan kekejaman dari masyarakat India terhadap pemerintahan saat ini semakin mengkerucut.
Sambung dia, 26 Juni lalu menjadi hari yang ironis di India, hari di mana saat kasus penyiksaan Tuticorin mencuat, nyatanya juga merupakan Hari Internasional PBB dalam Mendukung Korban Penyiksaan. Konvensi PBB terkait itu, juga menandai 162 negara yang meratifikasinya sejak 1987 lalu.
Prakash menuturkan, orang yang ditangkap karena dugaan melakukan tindak kejahatan dan disiksa oleh kepolisian kini sudah menjadi rahasia umum. Menurutnya, kasus kematian pada Jeyaraj dan Bennix bukan merupakan penyimpangan.
Tetapi, hal itu terjadi karena aturan yang sangat menakutkan. Bahkan, ia mengkisar setidaknya, ada 99 persen kasus lainnya yang berbau kekerasan dari pihak kepolisian dan tidak mencuat.
Perkiraanya, dimungkinkan ada enam ribu kematian dari tahanan kepolisian atau peradilan di India dalam tiga tahun terakhir. Angka itu, dia nilai bisa lebih tinggi.
Dia menegaskan, hal tersebut merupakan hasil yang memalukan dari badan negara yang bergengsi. Oleh sebab itu, dia meminta Dewan HAM PBB seharusnya bisa mengecam pemerintahan India dengan cara langsung.
Namun, kembali lagi, dia pesimistis jika Pemerintah India akan menuruti imbauan PBB. Utamanya, ketika menyinggung pernyataan PBB yang meminta agar India membebaskan demonstran anti Undang-undang Kewarganegaraan India (CAA) 2019 lalu. Undang-undang itu, dinilai sangat merugikan Muslim.
Prakash menuturkan, India tengah mengalami nasib yang sangat buruk di bidang hak asasi manusia di setiap peringkat global. Ketertinggalan itu juga tak berbanding jauh dari faktor lainnya yang saat ini menjadi masalah di negara tersebut.
‘’Rezim yang berkuasa tidak memiliki keraguan dalam memutuskan hak-hak konstitusional warga negara yang sah; sekarang saatnya, bahwa 'kita rakyat India' berdiri sebagai satu, secara kasat mata dan vokal, untuk melindungi dan mempromosikan semua yang berharga dan dibutuhkan untuk masa depan keberadaan kita sebagai satu bangsa,’’ ungkap dia.
Sumber: https://www.milligazette.com/news/Human-Rights/33637-rights-and-wrongs/