REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Sebagai sebuah refleksi historis, berkurban merupakan simbol ketaatan, pengorbanan, dan cinta. Nabi Ibrahim yang hidup di tengah masyarakat bercorak pastoralis, melambangkan sosok ayah yang demokratis. Kendati Allah SWT yang memberi titah untuk mengorbankan Nabi Ismail, Nabi Ibrahim tetap mempunyai pertimbangan kemanusiaan.
Dalam bahasa puitis Alquran, dialog Nabi Ibrahim itu berbunyi, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS. al-Shaffat/37: 102). Sebagai seorang anak, Nabi Ismail adalah representasi anak yang penuh bakti, baik kepada orangtua apalagi kepada Allah SWT.
Di usia muda, Nabi Ismail sudah memiliki keinsyafan spiritual. Nabi Ismail dengan penuh kerendahan hati dan percaya diri meminta agar Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT. Nabi Ismail mengatakan, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. al-Shaffat/37: 102).
Inilah pahala berkurban. Allah SWT akan menjadikan orang yang melaksanakannya sebagai orang yang sabar. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirya, sabar itu adalah menerima perintah Allah SWT demi mendapat pahala. Nabi Ismail bukan menyembelih seekor kambing seperti yang kita lakukan saat ini, tapi beliau mengorbankan diri sendiri karena perintah Allah SWT.
Pahala berqurban berikutnya terlihat dari sebuah riwayat yang bersumber dari Zaid bin Arqam. Ia bertanya, ”Ya Rasulullah, apakah Qurban itu?” Nabi SAW menjawab, ”Qurban adalah sunah bapak kalian, yakni Nabi Ibrahim”. Ia bertanya lagi, ”Apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan berqurban?” Nabi SAW menjawab, ”Setiap sehelai rambutnya satu kebaikan.”
Ini sungguh pahala berqurban yang luar biasa banyaknya, sebagaimana banyaknya rambut yang tumbuh di kepala seekor kambing. Tetapi tidak hanya itu, di dalam lanjutan riwayat di atas, Zaid bin Arqam bertanya lagi, ”Bagaimana kalau bulu-buluya?” Nabi SAW menjawab, ”Setiap satu helai bulunya juga (dibalas) satu kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Saking besar pahala dan manfaat berqurban bagi sesama, dengan tegas Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, telah kami tebarkan nikmat yang banyak kepadamu. Maka, dirikanlah shalat dan berqurbanlah.” (QS. al-Kautsar/108: 1-2). Ada dua perintah secara berturut-turut dalam ayat ini, yakni shalat sebagai ritual individual dan qurban sebagai ibadah sosial.
Dari segi sosial dan kemanusiaan, berqurban memiliki makna yang amat penting. Selain akan mengubur semangat individualistis dan tradisi memamerkan kekayaan yang kian tumbuh subur saat ini, secara nyata masyarakat miskin dan tidak mampu akan merasa “tergembirakan” hatinya dengan menerima hewan qurban sebagai makanan mewah.
Di samping itu, perintah berqurban dalam ayat di atas mencapai momentumnya saat ini. Maksudnya, ayat ini meniscayakan adanya pembelaan, keberpihakan, pengorbanan, dan cinta setiap muslim kepada sesama anak bangsa. Kalau dalam ibadah puasa kita diajarkan untuk turut merasakan lapar, namun dalam ibadah qurban kita diajarkan untuk berbagi rasa kenyang.
Kita merasakan perilaku oral-spiritual belaka bukanlah kebaktian dan cinta yang sesungguhnya. Hal ini ditegaskan dalam Alquran, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada suatu kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran/3: 92). Jadi, ibadah qurban adalah momentum berbagi cinta. Tapi bukan pesta.
Kesimpulannya, dapat dipahami bahwa penyembelihan qurban hanyalah jalan (thariqah) dan bukan jaminan (borg) untuk mendapatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Allah SWT menegaskan, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj/22:37).