oleh
Dwi Tanty Kurnianingtyas (Sosialisasi, Edukasi dan Advokasi Zakat Dompet Dhuafa)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–-Dunia tengah dihadapi dengan angka jumlah pengungsi yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2019, lebih dari 70 juta orang terpaksa keluar dari negaranya karena konflik dan persekusi. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah. Data UNHCR menyebutkan 57 persen pengungsi yang terdata berasal dari Suriah, Afghanistan dan Sudan Selatan. Hal ini berimbas pada negara disekitarnya yang menjadi penampung pengungsi terbesar di dunia, yaitu Turki, Pakistan dan Uganda. Sabtu, (20/6)
Ikhtiar menyelamatkan diri ke negara yang lebih aman tak luput dari cerita bertaruh nyawa. Cerita tentang Aylan Kurdi, pengungsi balita yang jenazahnya terdampar di Pantai Bodrum Turki menjadi salah satu kisah. Aylan Kurdi, Ibu serta saudaranya tewas tenggelam dalam pelariannya menuju Pulau Kos, Yunani. Pada tahun 2015 masyarakat Indonesia pun pernah menyaksikan kisah pengungsi Rohingya yang terdampar di Langsa, Aceh dengan kondisi mengenaskan setelah terombang ambing di lautan selama lebih dari dua bulan.
“Solusi komperhensif yang ditawarkan UNHCR sebagai lembaga yang mendapatkan mandat dalam memberikan perlindungan bagi pengungsi adalah, penempatan di negara ketiga (resettlement), pemulangan sukarela (ketika konflik di daerah asal telah usai) atau integrasi lokal di negara pemberi suaka. Penempatan di negara ketiga merupakan solusi yang diharapkan para pengungsi.
Namun jumlah pengungsi yang ditempatkan pada negara ketiga terus menurun setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNHCR pada tahun 2017, lebih dari 189 ribu pengungsi ditempatkan di negara ke tiga, tahun 2018 hanya lebih dari 102 ribu orang dan tahun 2019 bahkan tidak mencpai 100 ribu pengungsi yang ditempatkan ke negara ketiga,” ujar Dwi Tanty Kurnianingtyas dari Sosialisasi, Edukasi dan Advokasi Zakat Dompet Dhuafa.
“Menurunnya jumlah pengungsi yang ditempatkan pada negara ketiga disebabkan karena pembatasan yang dilakukan oleh negara yang menjadi tujuan resettlement. Salah satu negara yang membatasi pengungsi masuk ke negaranya adalah Amerika. Pada tahun 2018, Amerika membatasi jumlah pengungsi pada angka 45,000. Angka ini menjadi angka terendah dalam sejarah Amerika dalam menampung pengungsi sejak tahun 1980. Angka tersebut terus menurun, hingga pada tahun 2019 jumlah pengungsi yang akan ditampung Amerika hanya 30,000.,” ujar Tanty.
Pembatasan jumlah pengungsi di negara tujuan resettlement pada saat krisis global pengungsi saat ini, berimbas pada negara-negara transit seperti Indonesia. Saat ini Indonesia menampung sekitar 13,500 pengungsi dimana 28% pengungsi yang terdaftar di UNHCR adalah anak-anak. Sebagian besar mereka berasal dari Afghanistan, Somalia dan Irak.
Pembatasan jumlah pengungsi di negara-negara ketiga dan semakin sulitnya syarat memperolah suaka, menyebabkan masa tunggu di negara transit semakin panjang. Di Indonesia beberapa pengungsi sudah menunggu lebih dari 5 tahun untuk dapat ditempatkan di negara ketiga.
Kondisi para pengungsi di Indonesia cukup memprihatinkan. Pengungsi dewasa tidak boleh bekerja, pengungsi anak tidak mudah untuk mengakses pendidikan dan sulitnya mengakses layanan kesehatan. Tidak semua pengungsi di Indonesia mendapatkan bantuan finansial dari UNHCR Indonesia karena terbatasnya pendanaan di UNHCR. Sehingga untuk bertahan hidup pengungsi Indonesia mengandalkan bantuan dari lembaga-lembaga yang focus pada isu pengungsi dan kiriman uang dari keluarganya yang sudah berada di negara ketiga.
Sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi. Namun berdasrkan prinsip kemanusiaan dan prinsip non-refoulment, Indonesia tetap menampung dan membantu para pengungsi. Salah satu langkah pemerintah Indonesia yang patut diapresiasi adalah dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2019 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran tentang akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi.
Bukan hanya pemerintah, inisiatif membantu para pengungsi juga muncul di masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Lembaga Kemanusiaan Dompet Dhuafa. Sejak tahun 2015, Dompet Dhuafa menginisiasi program School For Refugee. Sebuah program persiapan bagi anak-anak pengungsi sebelum bergabung di sekolah umum di Indonesia. Semenjak program ini digulirkan, lebih dari 300 anak pengungsi telah merasakan manfaat dimana 92 diantaranya berhasil melanjutkan pendidikan bersama anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah umum.
Pada momentum Hari Pengungsi Dunia saat ini menjadi waktu yang tepat bagi Indonesia untuk lebih aktif menyuarakan hak-hak pengungsi pada forum global, berkontribusi dalam mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi dan meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia agar dapat turut serta membantu para pengungsi yang berada di Indonesia. Karena kehidupan yang aman di muka bumi adalah hak setiap manusia.