REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai perbandingan dan sekaligus juga sebagai bahan pelajaran, ada baiknya kita melihat tradisi bederma di negara maju, misalnya seperti Amerika.
BusinessWeek, majalah bisnis terkemuka di Amerika, dalam edisi 1 Desember 2003 mengupas tuntas perkembangan terakhir tradisi bederma yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar di Amerika.
Majalah ini juga meranking para dermawan yg terdiri dari perorangan maupun perusahaan berdasarkan data-data publik, siaran pers, dokumen yayasan-yayasan, maupun wawancara.
Dari hasil survei majalah tersebut didapatkan hasil bahwa dari 50 dermawan terbesar di Amerika, seperti Bill Gates, George Soros, dan lain-lainnya, total dana yang mereka sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial berjumlah sekitar Rp 500 triliun!
Dihitung secara rata-rata, rasio perbandingan antara dana yang disumbangkan dengan kekayaan mereka saat ini adalah 67 persen, yang artinya mereka menyumbang rata-rata lebih dari 40 persen harta mereka! Islam menganjurkan untuk bederma secara diam-diam. Hal ini sesuai pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:
''Jika tangan kananmu bederma sebaiknya tangan kirimu tidak mengetahui''. Ada hal yang menarik yaitu ternyata tradisi bederma secara diam-diam juga dilakukan di Amerika. BusinessWeek juga mengulas para dermawan yang menyumbang secara diam-diam tanpa publikasi. Mereka pada umumnya sulit dilacak karena menyembunyikan identitas mereka dengan bantuan ahli hukum, misalnya melalui pembentukan yayasan berbadan hukum di luar negeri.
Salah satu dermawan diam-diam yang berhasil dilacak oleh BusinessWeek adalah pendiri toko-toko duty-free yang terdapat di pelabuhan udara seluruh dunia, Charles Feeney. Dia menyumbangkan 39 persen saham perusahaan kepada yayasan sosial yang saat ini bernilai lebih dari Rp 31 triliun. Bila dibandingkan dengan kekayaanya saat ini yang tidak lebih Rp 12,7 miliar, Feeney menjalani hidup yang sederhana dan dia juga mengatakan bahwa ''otak seorang pun keluar dari dunia ini hidup-hidup''!
Di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang bederma belum menjadi suatu tradisi. Berbeda dengan di Amerika, perusahaan-perusahaan di sana sudah jauh lebih maju dalam tradisi bederma. BusinessWeek baru-baru ini melakukan survei di 500 perusahaan terbesar di Amerika, dari total 218 responden, sebanyak 214 (98 persen) setuju bahwa perusahaan bederma adalah baik.
Di mana sebelumnya, pada tahun 1980-1990, banyak perusahaan atas nama efisiensi dipengaruhi oleh pendapat dari ekonom terkenal, Milton Friedman, yang berpendapat bahwa ''bisnis adalah bisnis'' (Sepenuhnya tergantung dari kesediaan pemegang saham perusahaan untuk menyisihkan sebagian/seluruh dividen untuk bederma).
Perusahaan-perusahaan donatur di Amerika memberikan sumbangan dalam bentuk uang tunai (rata-rata 0,4 persen dari total pendapatan) dan dalam bentuk produk/jasa (rata-rata 0,7 persen dari total pandapatan). Total sumbangan dalam bentuk tunai maupun produk/jasa dari sekitar 30 perusahaan Amerika di tahun 2002 bernilai kurang lebih Rp 19,5 triliun.
Salah satu perusahaan besar Amerika yang aktif bederma adalah General Mills yang berkantor pusat di Mineapolis. Pada pertengahan tahun 1990, tingkat kejahatan di Mineapolis 70 persen lebih tinggi dari New York. Namun, dengan bantuan konsultan yg dibayar General Mills bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat ditambah lagi sumbangan dalam bentuk uang dan keterlibatan para pegawai, tingkat kejahatan di Mineapolis turun lebih dari 50 persen.
General Mills sejak tahun 1800-an telah mendirikan panti yatim piatu yang saat ini menjadi pusat pembinaan anak. Di zaman Rasulullah telah dimulai proses menginstitusikan tradisi bederma dengan membentuk semacam ''yayasan''. Salah satu cikal bakal yayasan dalam masa Rasulullah SAW dimulai oleh istri beliau, Zaenab binti Jahasy. Zaenab mengumpulkan anak-anak yatim dengan memberikan bantuan keterampilan dalam sulam menyulam serta dana yang ia kumpulkan dari sahabat Rasulullah yang bederma.
Di Amerika tradisi bederma melalui pembentukan yayasan yang profesional telah lama dilakukan. Tren terakhir menunjukkan bahwa, berbeda dengan para pendahulunya, para dermawan saat ini membentuk yayasan-yayasan sosial pada saat mereka masih hidup, bukan setelah mereka meninggal.
Beberapa alasan yang dikemukakan dengan bederma melalui yayasan saat masih hidup adalah agar mereka dapat memastikan dana yang mereka sumbangkan digunakan untuk program-program sosial yang mereka inginkan di mana mayoritas untuk program mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Selain itu para dermawan juga ingin memastikan yayasan sosial mereka dikelola secara profesional seperti layaknya organisasi bisnis, di mana yayasan beroperasi atas dasar ''hasil yang terukur, efisien, dan transparan''. Hal menarik untuk disimak adalah walaupun para dermawan di Amerika bekerja keras menumpuk harta yang banyak, mereka tidak ingin mewariskan harta yang sangat banyak tersebut kepada anak-anak mereka karena khawatir akan membuat mereka menjadi manja dan malas untuk bekerja.
Sekarang ini sudah banyak riset sosial yang menunjukkan betapa bahayanya kombinasi antara kekayaan dan umur muda. Ada suatu studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Universitas Columbia, salah satu universitas terkemuka di Amerika, menunjukkan bahwa anak-anak orang kaya lebih mudah gelisah dan tertekan dibandingkan anak-anak orang sederhana atau miskin.
Alasan lain para dermawan tidak mau mewarisi harta yang banyak kepada anak mereka adalah karena kebanyakan kekayaan yang didapat bukan dari harta warisan tetapi dari bekerja keras. Jadi mereka ingin anak-anak mereka menikmati kebahagiaan dan arti dari bekerja.
Selain itu para dermawan menganggap yayasan sosial yang mereka bentuk adalah juga salah satu ''warisan'' bagi anak-anak mereka, di mana mereka ikut melibatkan anak-anak mereka dalam kegiatan yayasan sosial mereka sehingga anak-anak mereka ikut menikmati kebahagiaan bederma.
*Artikel ini bagian dari naskah opini di Harian Republika terbit 15 Januari 2004, karya Rinaldhi Bukhari.