Selasa 16 Jun 2020 14:24 WIB
Islam

Omah Ropingen: Paradoks Pertarungan Islam Melawan Komunis

Jejak pertarungan Islam vs Komunis di Kampung Pandeyan, Kota Gede.

Pintu gerbang rumah Ropingen di Kampung Pandeyan, Kota Gede, Yogyakarta. Di rumah joglo milik keluarga H Rofi
Foto: teamtouring.net
Pintu gerbang rumah Ropingen di Kampung Pandeyan, Kota Gede, Yogyakarta. Di rumah joglo milik keluarga H Rofi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Chariis Zubair, Pengajar Filsafat Tinggal di Kota Gede Yogyakarta

Bagi yang mengenal secara dekat Tan Malaka dan atau Aidit, tahu bahwa keduanya berasal dari keluarga Muslim yang taat. Bahkan DN Aidit yang sempat memimpin PKI partai dengan stigma atheis pun, ada yang menyaksikan masih melakukan shalat lima waktu.

Di masa remajanya, Aidit yang berasal dari keluarga Muhammadiyah adalah muadzin yang merdu masjid kampungnya di Belitong.

Di Kotagede pun tak berbeda. Pada bekas ibukota Kerajaan Jawa Islam Mataram ini terdapat rumah yang menyimpan catatan sejarah, yang menjadi titik awal, hiruk pikuk konflik ideologis, bahkan titik awal konflik berdarah dan menyisakan kepedihan bagi yang terlibat. Banyak kisah kisah sedih di Kotagede, juga di Indonesia, seperti perpisahan suami dengan istri, orang tua dengan anak, seseorang yang tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri karena hanya kerabat jauhnya terlibat PKI, dikucilkan tetangga bahkan dibully,dan lain-lain.

Kotagede yang dalam perang Diponegoro amat dihormati oleh tentara Belanda dan pasukan Diponegoro, untuk tidak berperang di wilayah ini. Kemudian di dasawarsa kedua abad ke-20, kota ini menjadi jantung Gerakan Islam modern serta mendapat sebutan sebagai kota terkaya di Jawa Tengah bagian selatan saat itu. Justru di sinilah menjadi tempat pertama Semaun Darsono dkk, mengadakan rapat Syarikat Islam Merah yang menjadi embrio adanya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di rumah (ada yang menyebut 'Omah' atau 'Dalem') Ropingen kampung Pandeyan di Kotagede ini pernah menjadi tempat rapat yang kelak menjadi embrio lahirnya PKI. PKI pada masa awal adalah gabungan ideologis antara gagasan serta efektifnya gerakan komunis Henk Sneevliet dengan sosialisme Islam yang diemban Syarikat Dagang Islam (SDI). Bahkan penyebutan nama Ropingen itu ya berasal dari kata sang pemilik pertama H Rofi'.

Sebelum lahir Muhammadiyah, para saudagar Kotagede seperti H Muhsin, H Masyhudi mendirikan Syarikatul Mubtadi dan juga Mardi Hartoko yang disamping menjadi wahana terjalinnya jaringan dengan Syarikat Dagang Islam, juga menjadi titik penting berdirinya Muhammadiyah di Kotagede.

Bahkan H Muhsin dikenal sebagai donor pertama bagi hoofdbestuur Moehammadijah kala itu (Dalam Ensiklopedia Muhammadiyah yang baru terbit tertulis juga nama H Mukri sebagai pendonor).  Tak hanya itu, kedua istri Muhsin adalah kerabat KH Dahlan dari Kauman. Dahlan pun sebelum mendirikan Muhammadiyah adalah anggota Boedi Oetomo bahkan sampai akhir hayatnya. Surat al Ma'un yang sering dibaca ulang dalam pengajian Dahlan itulah yang mendorong amal usaha, menunjukkan betapa sosialisnya ideologi Moehammadijah.

Jaringan Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islam, kemudian Syarikat Islam, Moehammadijah dengan organisasi lokal seperti Syarikatul Mubtadi dan Mardi Hartoko tidak hanya melahirkan jaringan formal tetapi juga jaringan persahabatan. Tokoh-tokoh mulai dari sosok Samanhudi, Dahlan, Wahidin, Cokroaminoto bersama tokoh lokal tentu bersahabat pula dengan Semaoen, Darsono dan juga Moeso dan kawan-kawan.

Diijinkanlah para sahabat itu untuk berapat di jantung para sudagar kaya dan santri ini. Untuk merancang perlawanan terhadap penjajah.  Juga dengan pertimbangan Kotagede merupakan wilayah yang aman tidak digrebek tentara Belanda, karena dihormati kedua kraton, dan Belanda punya kepentingan ekonomi atas wilayah ini. Jadilah embrio PKI di tanam di Kotagede.

Paradoksalitas ini juga bisa menjelaskan mengapa dari keluarga abangan seperti Atmosudigdo dan Bahoewinangoen, lahir Rasyidi dan Kasmat yang sangat Masyumi. Dari keluarga Kalang lahir Nurriyah Shobron yang gigih membangun pesantren.  Mengapa Abdul Kahar Mudzakkir dari Kotagede dan Ki Bagus Hadikusumo dari Kauman, serta Abdul Wahid Hasyim dari Jombang dll para founding fathers banga Indonesia bisa "ikhlas" menerima perubahan 7 (tujuh) kata dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menggantikan Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Ketiganya kini telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional

Maka, saya kira untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan ke Indonesiaan masa kini,  kita bisa belajar dari paradoksalitas sekaligus penghormatan atas perbedaan dan persahabatan,  juga kearifan para orang tua kita di masa lalu.

Dari rumah dengan arsitektur bangunan Joglo milik keluarga H Rofi'i  yang terletak di sebelah timur dari Pasar Legi Kotagede, Yogyakarta itu ada jejak kearifan panjang dalam memahami sejarah yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu. Sekali lagi, di sana ternyata ada titik kecil sekaligus cermin untuk memahami paradoksalitas sosiologi politik Indonesia!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement