Selasa 16 Jun 2020 06:18 WIB
MUI

MUI dan RUU HIP yang Bisa Legal Tetapi tak Legitimate

Bila dipaksakan, RUU HIP memang legal, tetapi tidak sah.

Gedung MUI
Foto:

Sikap MUI yang terang benderang mengatakan menolak, bukan meminta direvisi RUU HIP itu, jelas konsekuensinya di panggung politik hukum pembentukan UU. Apakah konsekensinya? RUU ini telah terdelegitimasi. RUU ini telah kehilangan kekuatan sosiologisnya.

Daya relevansi dan signifikansi sosiologis politiknya telah melayang, entah ke mana. Tamat. Bukan perkara kehilangan daya relevansi dan signifikansi sosiologis politik itu yang jadi soal besar. Yang jadi soal besar dalam konteks itu terjalin dengan pertanyaan UU itu siapa?

Masyarakat yang menjadi sasaran berlaku UU itu telah nyata-nyata menolak sehingga memunculkan soal berupa masyarakat yang mana, yang akan dijadikan sasaran berlakunya RUU ini, kelak setelah menjadi UU? Itu masalahnya.

Menyangkal dan mengesampingkan legitimasi dalam pembentukan UU dengan argumentasi, legitimasi bukan konsep hukum, tidak salah. Itu benar. Legitimasi tidak sama, apalagi sebangun dengan legalitas. Jelas itu. Legitimasi adalah satu hal dan legalitas adalah hal lain. Itu juga jelas.

Legalitas menunjuk post faktum, fakta setelah RUU telah menjadi UU. Begitu RUU berubah menjadi UU, saat itu suka atau tidak, legalitas bicara, bukan legitimasi. Ini tipikal negara otoriter, negara dengan pemimpin menjadi segala-galanya. Negara jenis ini terfeodalisasi total. Kemauan negara menjadi basis umum legitimasi, suka atau tidak. Apa yang dimaui negara, itulah yang legitim.

Namun, soalnya tidak terletak di situ. Soalnya terletak pada UU itu ditujukan kepada warga negara. Negara konyol akan menyanggah argumen itu dengan pertanyaan, masyarakat yang mana? Ini argumen khas Jeremy Bentham, filsuf Inggris yang populer dengan teori keadilan, yang berbasis kemaanfaat untuk orang terbanyak.

Ini argumen, yang kalau dikenali secara cermat, berkarakter sosialistis. Tipikal operasional argumen ini adalah sodorkan saja kebijakan hukum itu untuk orang terbanyak, legitimasi pembentukan UU dianggap telah ada. Tidak penting ada warga yang menolak. Argumen ini, dalam lautan ilmu hukum, digandrungi kuat oleh korporasi. Argumen ini juga mengandaskan eksistensi negara, khususnya kewenangan sebagai satu-satunya orang monopolistik melaksanakan hukum. Kewenangan ini bekerja melalui sanksi hukum; pidana penjara dan lainnya, termasuk sanksi administratif.

Melayangnya legitimasi untuk meneruskan pembahasan RUU HIP ini tidak hanya disebabkan oleh penolakan demonstratif MUI itu. Tidak. Tidak juga disebabkan hanya oleh adanya kenyataan TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 dikesampingkan. Tidak juga.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement