REPUBLIKA.CO.ID, KARACHI – Agensi berita yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) UPI, telah menyandingkan Perdana Menteri India Narendra Modi dengan pemimpin NAZI Adolf Hitler.
Sebab, keduanya dinilai mempromosikan ketegangan dan kerusuhan, dari pada langkah perdamaian.
"Narendra Modi tampaknya memandang tawaran Perdana Menteri Pakistan Imran Khan sama seperti Kanselir Adolf Hitler memandang keinginan Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain untuk perdamaian di zaman kita," kutip artikel UPI yang ditulis mantan pejabat militer AS, Kolonel Wes Martin seperti dikutip brecorder, Rabu (10/6).
Martin menambahkan, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan juga telah berupaya meyakinkan India untuk membicarakan perdamaian. Sebaliknya, Modi malah meningkatkan ketegangan di Kashmir.
Sambung Martin, hal tersebut juga serupa pada saat Hitler merebut Cekoslowakia, kerusuhan sipil diciptakan di negara itu dan dilakukan para agitator Jerman. Dan para agen India, dia nilai, telah melakukan hal yang sama seperti di Jammu dan Kashmir.
"Pada Agustus 2019, Modi mencabut status negara konstitusional, menyatakan wilayah persatuan, dan sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat. Tindakan ini adalah awal dari pengepungan," ucapnya.
Tak hanya itu, pada Desember lalu kata Martin, pemerintahan Modi juga menghapus status kewarganegaraan dari populasi Muslim.
"Bahkan, pembangunan kamp konsentrasi segera dimulai dan sedang diisi Muslim, sekarang (Muslim) kehilangan harta benda mereka," katanya.
Martin menegaskan, Modi dan Partai Bhartiye Janata-nya bahkan menyalahkan umat Islam atas penyebaran Covid-19 di negara tersebut.
Menurut dia, ungkapan di saat kritis itu akan membuat orang-orang di India semakin bersitegang, terlebih ketika didorong oleh negara.
"Mereka diserang di jalan-jalan, para korban Muslim (juga) ditolak aksesnya ke rumah sakit, meskipun sangat butuh perhatian di banyak kasus," ungkapnya.
Dia melanjutkan, dalam kamp konsentrasi, pemerintah juga mengkonsolidasikan populasi Muslim tanpa makanan, air, dan dukungan medis yang tepat.
Hal itu dia nilai akan menjadi kerugian besar di sisi Muslim. "Ini juga akan memberi Modi kemampuan untuk mengklaim tingginya jumlah kematian sebagai pembenaran retroaktif atas tindakannya (menyalahkan Muslim)" tutur dia.