REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ira M. Lapidus, seorang Profesor Emeritus Timur Tengah dan Sejarah Islam di The University of California di Berkeley, mengungkapkan tiga teori mengapa orang Nusantara menerima Islam. Teori-teori tersebut diharapkan bisa menjelaskan bagaimana mayoritas penduduk Nusantara menerima Islam.
Teori pertama, yaitu teori yang menekankan peran para pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Nusantara. Di antaranya, menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal yang telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.
Berkenaan dengan teori ini, sebagian ahli memberikan penjelasan kenapa para pedagang tersebut juga mengajarkan Islam. Mereka berpendapat bahwa para pedagang Muslim asing tersebut yang datang ke Asia Tenggara, juga memperkenalkan Islam untuk mendapatkan keunggulan ekonomi dan politik di kalangan masyarakat pribumi.
Di antara beberapa perkara yang diperkenalkan para pedagang Muslim ini kepada masyarakat pribumi, menurut kerangka teori ini adalah terutama tentang keuntungan-keuntungan hukum Islam mengenai perdagangan. Sehingga, dengan demikian mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi secara maksimal.
Dengan melakukan hal semacam ini, mereka bukan saja memberikan landasan bagi perdagangan pribum. Tetapi juga sekaligus membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Islam dengan demikian menjadi pilihan masyarakat pribumi dan karenanya Islam dapat diterima.
Teori kedua, yang lebih menekankan pada makna Islam bagi masyarakat umum dari pada kegiatan elite pemerintah. Islam telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi bagi kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan lagi integritas kelompok parokhial yang lebih menjadi masyarakat yang lebih besar.
Di dalam kerangka teori ini, dapat dijelaskan pula bahwa kehadiran kaum kolonialis justru yang merangsang terjadinya proses Islamisasi yang intens dan efektif lebih lanjut di Nusantara. Masyarakat Nusantara, bukan hanya secara geografis dipisahkan oleh pulau-pulau, tetapi juga mempunya perbedaan kultur dan pranata sosial yang distingstif.
Modalitas tersebut mampu berkomunikasi dengan Islam sebagai satu-satunya wadah yang dapat diandalkan menjadi pemersatu dan memberikan warna tersendiri guna menciptakan sebuah identitas yang unik. Dalam rangka menghadapi gerakan kolonialisme yang dalam hal ini diwakili oleh penjajah kafir, Islam memberikan suatu injeksi yang memodernisir dan merevolusi tata bangun identitas dan integritas masyarakat lintas segmen, baik yang berasal dari kalangan petani, pedagang, serta kelompok profesi lainnya semata-mata untuk semangat juang.
Terlebih dengan ajaran jihad dalam konteks hubbul wathan dan hizbul wathan yang semakin memperteguh semua umat Muslim untuk bersatu padu menjungkalkan kolonialisme yang pelan namun pasti telah menyandra kebebasan dan kedaulatan masyarakat lokal.
Dalam konteks demikian, Islam kaitannya dengan masyarakat pribumi, menjadi semacam mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis. Yakni, dapat dipersepsikan sebagai kristalisasi ide dan gerakan sebagai simbolisme perlawanan.
Teori ketiga, yang menjelaskan peran para juru dakwah (dai) atau kaum sufi, baik dari Gujarat, Benggal, dan Arab. Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai para guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politikus yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan golongan pedagang, dan memasuki daerah-daerah rural seperti perkampungan di daerah pedalaman.
Sumber: Haji dari Masa ke Masa / Kemenag (2012)