Ahad 07 Jun 2020 05:47 WIB

Di Masa Jaya Sebagai Atlet, Ferdinand Putuskan Jadi Mualaf

Ferdinand putuskan menjadi mualaf di masa jayanya sebagai seorang atlet.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Muhammad Hafil
 Di Masa Jaya Sebagai Atlet, Ferdinand Putuskan Jadi Mualaf. Foto: Mantan pemain Los Angeles Laker Kareem Abdul-Jabbar berpidato di depan patung dirinya di Staples Center, Los Angeles, Jumat (16/11). (AP/Mark J. Terrill)
Di Masa Jaya Sebagai Atlet, Ferdinand Putuskan Jadi Mualaf. Foto: Mantan pemain Los Angeles Laker Kareem Abdul-Jabbar berpidato di depan patung dirinya di Staples Center, Los Angeles, Jumat (16/11). (AP/Mark J. Terrill)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ferdinand Lewis Alcindor atau lebih dikenal sebagai Lew Alcindor pada masa jayanya, mengenang kembali alasan mengapa ia masuk Islam. Menurutnya, perubahan nama itu bukan hanya ‘pergantian merek’, tapi jauh melampaui transformasi hati, pikiran dan jiwa.

 

Baca Juga

“Saya lahir sebagai Ferdinand Lewis Alcindor, Jr. Lew Alcindor. Sekarang saya Kareem Abdul-Jabbar, sebuah manifestasi dari sejarah, budaya, dan kepercayaan saya di Afrika,” ujar mantan bintang La Lakers itu.

 

Sebagai selebriti dan bintang olah raga pada masanya, ia ingat betul banyak yang menentang keputusan rohaniahnya. Terlebih sambungnya, di Amerika, agama Islam dianggap sebagai agama yang tak sejalan dengan budaya dan sosial.

 

“Saya tahu itu, tapi, setelah menjadi Muslim sejak lebih dari 40 tahun lalu, saya memutuskan masih membela pilihan saya,” tambah dia.

 

Mengutip Al Jazeera, Sabtu (6/6) dia mencontohkan kesulitan hidup di masa kuliahnya sebagai masa awal mengenal Islam. Terlebih, ketika masih sulitnya kulit hitam di Amerika mendapat pengakuan pada medio 1960-an. Bahkan, ketika terjadi kerusuhan ras di Detroit yang sempat menewaskan 43 orang dan ribuan orang luka lainnya.

 

Namun dia sadar, sebagai Lew Alcindor yang disemangati oleh komunitasnya, ia telah menjadi apa yang diharapkan untuk menjadi contoh kesetaraan. Sebagai lelaki dengan tinggi lebih dari dua meter, ia juga diminta untuk membuktikan bahwa rasisme adalah suatu mitos.

 

“Tetapi saya juga berjuang keras untuk menyenangkan orang-orang yang berwenang. Ayah saya adalah seorang polisi dengan seperangkat aturan,” tuturnya.

 

Tak sampai di situ, sebelum kuliah di UCLA dan masuk sebagai tim kuliah terbaik di Amerika, ia memang sekolah juga di sekolah agama yang ia anut sebelumnya. Sekolah yang ia sebut memiliki banyak aturan dari pemuka agamanya.

Alhasil, pemberontakan sebagai perjuangannya, tidak dapat menjadi suatu pilihan. Sebaliknya, tumbuh di era 60-an, ia hidup dengan penuh kekaguman pada perjuangan gender dari hal lain.

 

“Sejak saat itu, saya mengaggumi Martin Luther King Jr. atas keberaniannya yang tanpa pamrih,” ungkap dia.

 

Dia menambahkan, seiring transformasi Malcolm X sebagai pemimpin politik menjadi Muslim, hal itu membuka pikirannya dan berusaha mencari identitasnya lebih dalam. Bahkan, saat dia mendalami The Autobiograph of Malcolm X, ia menjadi terpikirkan mengenai Quran.

 

“Saya mulai belajar Quran,” tuturnya.

 

Dalam perjuangannya mencari kebenaran itu, Lew yang saat itu tengah dikenal sebagai bintang dari olah raga basket, banyak mendapat kesalahan serius, selain dari pertentangan yang didapatnya.

 

Namun ia percaya, untuk mencari jalan lurus, memang diperlukan jalan memutar dan penuh rintangan.  “Seperti yang dikatakan Malcolm X, ‘Saya kira pria berhak mempermalukan dirinya sendiri jika dia siap membayar biayanya.” ungkap dia.

 

Alhasil, pada 1971, ketika ia berusia 24 tahun ia memutuskan untuk menjadi Muslim dan mengubah Namanya menjadi Kareem Abdul-Jabbar (yang berarti "yang mulia, hamba Yang Mahakuasa").

 

Setelah mendapati Islam sebagai tujuannya, ia masih menghadapi berbagai pertentangan. Salah satunya dari diri sendiri, yang kerap mempertanyakan, ‘mengapa saya harus memilih agama Islam yang asing bagi Budaya Amerika dan nama yang sulit diucap?.

 

Hal itu menajadi titik perubahannya. Meski banyak penggemarnya yang menyatakan bahwa itu adalah pilihan pribadi. Namun, tak sedikit yang menganggapnya hina.

 

“Seolah-olah saya telah membakar gereja mereka sambil merobek-robek bendera Amerika,” tuturnya.

 

Bahkan, ia menyebut bahwa orang tuanya juga tidak senang atas dirinya yang menjadi mualaf. Meskipun, ia terlahir dari keluarga Katolik yang tak terlalu ketat.

 

Kembali mempelajari sejarah agamanya terdahulu, ia kembali kecewa, bahkan, ketika ia membenarkan aksi perbudakan yang dianggap penghujatan oleh Konsili Vatikan II.

 

“Tetapi bagi saya, itu terlalu sedikit, sudah terlambat. Utamanya, kegagalan gereja untuk menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menghentikan perbudakan,” tuturnya.

 

Lebih lanjut, dalam prosesnya ia juga mengaku tidak puas menerima pengetahuan agama dari satu pihak, Hammas. Terlebih, ketika pikiran mengenai Islamnya sudah mulai kritis. Dalam pandangannya, Islam yang dipelajari tak sama dengan Malcolm X, meski ia menjadi panutannya, utamanya ketika Islam ia anggap sebagai spiritualitas sejati.

 

“1973 saya melakukan perjalanan ke Libya dan Saudi untuk belajar Bahasa Arab dan belajar Quran. Dalam ziarah itu, pikiran dan keyakinan saya diperjelas dan iman saya diperbaharui,” ungkap dia yang juga pernah bermain di tim Milwaukee Bucks.

 

Alhasil, setelah puluhan tahun ia mendalami Islam, tak ada keraguan sedikit pun. Khususnya, setelah melakukan perjalanan spiritual itu. Dia juga melanjutkan, suatu bagian dalam pertobatannya itu, menerima tanggung jawab untuk mengajarkan orang lain tentang agamanya.

 

Bukan untuk mengubah apa yang telah ada. Jauh dari itu, ia sebut upayanya itu untuk hidup berdampingan dengan setiap orang dengan saling menghormati, memberikan dukungan dan pesan perdamaian.

 

“Satu dunia tidak harus berarti satu agama, hanya satu keyakinan dalam hidup damai,” ungkap dia.

Sumber:

http://america.aljazeera.com/opinions/2015/3/why-i-converted-to-islam.html

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement