REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koran berbahasa Jawa dan Melayu, Bromartani (edisi 15 September 1915) memberitakan, Kiai Ahmad Dahlan alias M. Ketib Amin mengajak murid-murid laki-laki dan perempuan ke Taman Sri Wedari, Surakarta. Masih di Bromartani, 2 Zulkaidah 1345 H, Ahmad Dahlan diberitakan mengajar anak-anak perempuan dari Kampung Kauman, Surakarta, tepatnya di rumah Haji Muhammad Khalil.
Tersirat dari dua berita tersebut bahwa Ahmad Dahlan merasa penting mengajar anak-anak perempuan, tidak hanya anak laki-laki sehingga ia perlu datang mengajar ke Kauman, Surakarta. Dua konstruksi fakta media tersebut menjadi ilustrasi bahwa Ahmad Dahlan sangat memperhatikan pengajaran bagi anak-anak perempuan sejak awal Muhammadiyah berdiri. Fakta paling nyata adalah kelahiran organisasi ‘Aisyiyah yang semula bernama perkumpulan Sopo Tresno.
Pengajaran Perempuan
KH Ahmad Dahlan memang menganjurkan sahabat dan muridnya untuk menyekolahkan saudara atau anak perempuannya ke sekolah agama dan sekolah umum. Anjurannya terbilang berani, mengingat terbatasnya ruang gerak anak perempuan Kauman kala itu.
Mereka biasa dipingit dalam rumah, kesempatan keluar rumah diperbolehkan untuk keperluan belajar mengaji di lingkungan terdekat. Anak laki-laki disarankan nyantri di luar Kauman dan belajar ilmu agama setinggi-tingginya, sedangkan anak perempuan hanya diperkenankan belajar mengaji di kampung sendiri, membaca Al-Qur’an dan belajar ibadah praktis.
Pada 1913, untuk kali pertama, tiga gadis Kauman, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Barijah (adik Fachrodin, murid Dahlan) bersekolah di sekolah umum, tepatnya di Neutraal Meisjes School, di Ngupasan. Sedangkan dua gadis Kauman lainnya, Siti Umnijah dan Siti Mundjijah (adik Fachrodin) bersekolah di sekolah agama. Kolaborasi pendidikan sekolah agama dan sekolah umum, dimaksudkan untuk memperkaya usaha-usaha memajukan kaum perempuan dalam bingkai besar gerakan Muhammadiyah yang sedang dirintis.
Jumlah perempuan yang menempuh pendidikan di sekolah umum bahkan bertambah, sebut saja Siti Aisjah, Siti Badilah, Siti Zaenab, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busjro, dan Siti Hajinah. Terobosan Dahlan mengundang tentangan, keluar dari kebiasaan yang berlaku.
Ia dituding “kiai palsu”, “Kristen alus”, dan membawa kerusakan pada kehidupan perempuan Islam. Tapi, kiai yang dikenal konsisten ini tetap bersikukuh meyakini bahwa pembaruan mesti diawali dari perubahan cara berpikir, dan pengetahuan adalah pasaknya pergerakan. Dahlan mengawali gagasan pembaruannya dari kesadaran kognitif melalui ranah pendidikan disertai tindakan nyata secara kolektif dan terorganisir.
Mereka yang bersekolah umum, tetap belajar agama melalui pengajian, sekitar jam 14.00 hingga Ashar, bersama KH. Ahmad Dahlan. Siti Walidah atau Nyai Dahlan bahkan merelakan bagian rumah yang biasa dipakainya untuk menggantungkan kain yang akan dibatik sebagai tempat belajar. Para murid duduk di atas tikar, sedangkan kotak bekas kaleng minyak disulap menjadi meja.
Siti Walidah mengadakan pengajian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, seperti pengajian bagi remaja putri, para orang tua, juragan (majikan/ pengusaha) batik, dan tidak terabaikan para buruh batik. Para orang tua, yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di usia muda, diajar membaca dan menulis Arab, ditambah tulisan latin.
Waktu belajar dipilih setelah Maghrib, menyesuaikan waktu luang mereka, sehingga diberi nama Maghribi School. Jumlah pesertanya di kisaran 20, usianya sebaya dengan Siti Walidah. Istri Ahmad Dahlan ini bahkan tak sungkan ikut belajar membaca dan menulis latin, karena ia tidak mengecap bangku sekolah. Kala itu, tak banyak anak seusianya, apalagi anak perempuan, yang bersekolah umum.
Kauman, masa itu, tenar sebagai sentra usaha batik. Untuk keperluan usahanya, para juragan batik mesti mempekerjakan para buruh batik (pengobeng) sekaligus sebagai pembantu rumah tangga. Kebanyakan berasal dari desa dan buta huruf.
Siti Walidah kemudian menyediakan wadah belajar agama, membaca, dan menulis. Kegiatan belajar itu mengandalkan waktu senggang para buruh batik di sore hari. H.Mh. Mawardi (SM, no. 9 tahun 1978), menyebutkan bahwa pengajian bagi para buruh batik dilaksanakan setelah Maghrib, dan itulah yang dimaksudkan sebagai Maghribi School atau populer dengan sebutan Manesal School.
Pendidikan bagi para buruh batik, adalah wujud kongkrit keberpihakan Dahlan dan Siti Walidah pada masyarakat terpinggir atau menderita, tak berpendidikan, dan miskin. Surat Al-Ma’un nan inspiratif itu, dibaca Dahlan dengan cerdas, bahwa manifestasi ketaatan beragama itu tidak cukup dengan ritual perhubungan manusia dengan tuhan (hablun min Allah), tapi terletak pada ikhtiar-ikhtiar filantropis sesama manusia (hablun min an-naas).
Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kemudian, dengan mengumpulkan para pekerja yang berasal dari warga kawasan pinggiran, untuk belajar ilmu keagamaan dan ilmu pekerjaan, bisa dipahami dalam konteks pemahaman teologis Al-Ma’un. Ketika itu, Yogya adalah kota tujuan kaum urban asal kawasan pinggiran untuk mengadu nasib. Ide-ide Dahlan dan aksi pemberdayaan rakyat kecil, masih dipahami dan terawat dengan baik oleh para pegiat Muhammadiyah- ‘Aisyiyah, sehingga para pekerja atau kaum urban, representasi rakyat kecil, tak luput dari perhatian. Dari situ muncul antara lain pengajian wal ashri.
Sopo Tresno
Gadis-gadis Kauman yang telah merasai segarnya nafas pendidikan, mulai melakoni aktivitas secara terorganisir dalam Sopo Tresno, perkumpulan perempuan di Kauman yang berdiri tahun 1914. Perkumpulan inilah embrio berdirinya organisasi perempuan ‘Aisyiyah. Informasi tentang Sopo Tresno masih terbatas.
Suratmin, ketika menulis riwayat Nyai Ahmad Dahlan, menyebut bahwa Sopo Tresno adalah buah dari advokasi pendidikan bagi buruh batik oleh Nyai Dahlan, sedangkan Adaby Darban dalam bukunya, Sejarah Kauman, mengatakan bahwa perkumpulan itu berdiri dengan andil KH. Sjoeja’, Ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), yang dimaksudkan sebagai wadah kegiatan perempuan Kauman. Perkumpulan itu bertugas membantu kerja-kerja PKO, khususnya menyantuni anak-anak yatim piatu perempuan.
Menurut Adaby, para aktivis Sopo Tresno inilah yang berinisiatif membentuk organisasi perempuan dan disambut baik oleh Ahmad Dahlan beserta pimpinan Muhammadiyah lain. Belum ada keterangan yang memuaskan tentang penggagas berdirinya ‘Aisyiyah, rata-rata bersepakat bahwa Sopo Tresno adalah benih berdirinya ‘Aisyiyah, dan pertemuan digelar di rumah Kyai Dahlan pada 1917, yang dihadiri KH. Dahlan, H. Fachrodin, H. Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo, bersama enam gadis kader Dahlan, yaitu Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah.
Pertemuan itu memutuskan berdirinya organisasi perempuan Muhammadiyah. Peserta rapat mengusulkan nama “Fatimah,” tapi tak semua sepakat, sehingga H. Fachrodin mengajukan nama “‘Aisyiyah,” terinspirasi nama istri Nabi Muhammad, yaitu Siti Aisyah yang dikenal cerdas dan mumpuni. Jika Muhammadiyah berarti pengikut Nabi Muhammad, maka ‘Aisyiyah bermakna pengikut Siti Aisyah. Pasangan serasi, seperti figur Muhammad dan Aisyah, bahwa ‘Aisyiyah akan berjuang berdampingan bersama Muhammadiyah.
Organisasi perempuan yang telah memilih nama itu diresmikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917, dalam perhelatan akbar nan meriah yang diadakan Muhammadiyah, bertepatan dengan momen Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Para pimpinan ‘Aisyiyah perdana itu, digambarkan berpakaian seragam yang terbuat dari kain sutera dengan renda-renda. H Mochtar bertindak sebagai pembuka kelambu tanda peresmian. Ia juga didaulat menjadi pembimbing atau pendamping administrasi dan organisasi ‘Aisyiyah. Kiai Ahmad Dahlan pernah berpesan pada sahabat dan muridnya supaya berhati-hati dengan urusan ‘Aisyiyah. Jika bisa membimbing, insya Allah ‘Aisyiyah akan menjadi teman setia dalam perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah. Harapan sang kiai bisa disaksikan wujudnya sampai saat ini.