REPUBLIKA.CO.ID, Terma radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Berpikir secara radikal berarti berpikir sampai ke akar-akarnya. Terma radikal kemudian mengalami perluasan makna, karena itulah makna radikal juga berarti anti kemapanan. Kebenaran agama mulai dipersoalkan sampai kepada dasarnya.
Tidak ada agama dan umatnya yang terbebas dari gerakan radikal dalam sejarah dunia dan kemanusiaan. Agama dan umatnya tidak bisa dilepas dari lingkungan. Sejarah manusia dan kemanusiaan serta keagamaan memang mengenal grafik turun naiknya kehidupan, kemanusiaan, dan peradaban. Untuk mengenal bentuk-bentuk radikalisme kini dan esok, maka perlu dipelajari sejarah lahirnya radikalisme dalam dunia Islam.
Munculnya gerakan keagamaan yang bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer. Gerakan keagamaan yang disertai kekerasan itu hanya dilakukakn oleh organisasi besar dan mapan. Kejadian-kejadian sporadis berupa pemboman pesawat sipil, barak tentara atau pasar, juga penculikan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang biasa disebut oleh Barat sebagai "teroris". Menurut data masyarakat Barat, sebagian mereka didukung oleh negara Libya dan sebagian lagi didukung oleh organisasi-organisasi kecil yang militan.
Maraknya gerakan radikalisme dalam masyarakat Muslim secara langsung memperteguh citra lama tentang Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal. Kesan ini sulit dibantah, lantaran gelombang radikalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan poitik sejak pertengahan abad ini.
Misalnya saja, gerakan yang dipimpin Utsman dan Fodio Afrika, Wahabiyah di semenanjung Arab, dan jauh sebelumnya oleh kaum Khawarij. Meskipun demikian, sulit pula membenarkan pandangan yang umumnya tersebar dalam media massa Barat bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam.
Gerakan radikalisme keagamaan yang yang menyebar hampir di seluruh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim tidak selalu memiliki kaitan antara satu dan lainnya. Perlawanan bersenjata yang dilancarkan oleh kaum separatis Mindanao, misalnya, tidak memiiki hubungan dengan FIS di Aljazair.
Radikalisme dalam sejarah Islam memiliki agenda yang berbeda-beda. Secara ideal mereka memang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agama secara menyeluruh, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta imperatif-imperatif yang dikandungnya saling berbeda. Ketika Muhammad Abdul Wahab melancarkan gerakan puritanisme, masyarakat Muslim saat itu belum menghadapi kekuatan Barat.
Oleh karenanya sasaran yang dicanangkan Wahab terbatas pada komunitas internal Muslim. Agendanya juga terbatas pada persoalan keagamaan seperti bid'ah, takhayul, dan khurafat. Masalah kenegaraan dan sistem sosial budaya belum banyak disentuh.
Memasuki fase abad ke-19, suasana dunia telah berubah dan menuntut suatu respon yang lebih luas. Pada masa itu Barat telah muncul sebagai kekuatan dunia yang mendominasi keberadaan muslim. Muhammad Abduh, Jamaludin al-Afghani dan Rasyid Ridho adalah manifestasi dan realitas muslim yang merasa tersubordinasi dengan keadaan tersebut.
Agenda pembaruan Islam pun berkembang dari persoalan internal menuju eksternal. Di satu sisi para tokoh reformis tersebut masih sibuk dengan yang dihadapi kalangan revivalis, di sisi lain mereka juga harus menghadapi tantangan dari luar, yakni modernisme.
Pada saat dominasi politik, ekonomi, dan budaya Barat melaju tidak terbendungkan dan meminggirkan posisi masyarakat Islam, dalam konteks seperti itulah gerakan kebangkitan Islam yang tadinya mengambil jalur kultural dan teologis berubah menjadi gerakan politik dan ideologis. Meskipun sama-sama menghendaki kebangkitan Islam, kalangan radikal cenderung bersikap reaksioner.
Peneguhan Islam dilakukan melalui penolakan terhadap Barat. Semangat untuk menegakkan Islam tampaknya tidak hanya dimotivasi imperatif teologis, tetapi juga didiorong oleh perjuangan mendapatkan kembali identitas kultural serta historis. Barangkali lantaran itu, umat Islam yang tidak menjadi bagian dari kejayaan Islam, sepeti Indonesia, tidak begitu terobsesi untuk meraih kembali masa keemasan Islam tersebut, dan memilih bersikap terbuka serta akomodatif terhadap peradaban lain, terutama Barat.
Hampir semua kasus radikalisme keagamaan menunjukkan bahwa kemunculan mereka senantiasa berhadapan dengan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban modern belum mampu mengakomodasi kepentingan radikalisme. Di sisi lain kalangan radikal juga kesulitan untuk menerima kecenderungan dan hegemoni global yang mengatur hubungan antar bangsa. Bila perbedaan ini tidak dijembatani, kekerasan dan ketidakpuasan akan terus merebak. Padahal di masa kini dan akan datang, pluralisme dan interdependensi antarbangsa dan masyarakat merupakan prinsip sosial yang tidak bisa ditolak.
*Oleh mantan menteri agama almarhum Tarmizi Taher, dikutip dari Harian Republika.