REPUBLIKA -- Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan penulis buku
Inilah cerita keriuhan lebaran tahun lalu. Beda dengan sekarang, lebaran 2019 penuh geriap. Mudik membahana. Dan ini beda dengan lebaran kali ini yang serba prihatin dan penuh kisah horor. Begini tulisan rekan sahabat saya Uttiek M Pnji Astuti kala itu. Mudah-mudahan menjadi kenangan manis dan bukan jadi kenangan yang menyebabkan duka. Begini tulisannya:
------------
Bagaimana cerita Lebaran tahun ini? Sudah kembali dari mudik, atau masih di kampung halaman? Hari ini saya juga kembali ke Jakarta. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik Lebaran 2019 dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mencapai 14,9 juta orang. Khusus DKI Jakarta, jumlah pemudik diperkirakan mencapai 7.346.430 jiwa atau setara dengan 2.448.810 keluarga. Jumlah ini naik sebesar 4 persen dari jumlah pemudik tahun 2018 lalu.
Perputaran uang pada Lebaran 2019 ini jumlahnya cukup fantastis. Yakni mencapai Rp 9,7 triliun. Di kota kelahiran saya, Solo, kemeriahan Lebaran tidak berhenti di tanggal 1 Syawal. Ada tradisi yang disebut Bakda Kupat, alias Lebaran ketupat. Masyarakat Solo baru akan mengonsumsi ketupat sepekan setelah Lebaran atau di tanggal 8 Syawal.
Mengapa tanggal 8 Syawal? Karena 6 hari setelah Lebaran, kita disunahkan untuk puasa Syawal terlebih dahulu. Setelah selesai, barulah dirayakan dengan makan ketupat opor.
Sunah puasa Syawal ini sebagaimana tercantum dalam hadist: Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[HR. Muslim]
Tradisi Bakda Kupat ini dibawa oleh para Wali sebagai bagian dari akulturasi saat menyiarkan Islam di tanah Jawa. Secara filosofi, kupat artinya “ngaku lepat –merasa bersalah-“ Janur yang digunakan untuk membungkus ketupat bermakna sejatining nur. Atau cahaya sejati, yakni Nur Illahi. Sementara ketupat yang terbuat dari beras berwana putih, melambangkan, setelah Ramadhan dan saling bermaafan, manusia kembali fitri. Putih bersih.
- Keterangan foto: Ketupat
Tak hanya di Jawa, di Sumenep Madura juga dikenal tradisi serupa. Namanya Tellasan Topak. Usai puasa Syawal, keluarga-keluarga akan saling memberikan hantaran berupa ketupat dan lauk-pauknya.
Bahkan, masih ada juga yang melestarikan tradisi menggantung ketupat di pintu masuk rumah. Tradisi Lebaran di berbagai belahan dunia berbeda-beda. Namun intinya sama: merajut ukhuwah, menjalin silaturahim. Di Turki ada tradisi kuno yang lestari sejak Daulah Utsmani. Dikenal dengan nama Bayram atau Seker Bayram.
Di hari Lebaran, keluarga dan tetangga saling mengunjungi dengan membawa penganan manis. Seperti lokum atau baklava. Uniknya, kalau di Indonesia yang menyediakan hidangan adalah tuan rumah. Di Turki, tetamu pun membawa makanan juga untuk dihidangkan dan dimakan bersama. Pada masa Daulah Utsmani, kemeriahan ini juga difasilitasi pemerintah dengan menghadirkan aneka pertunjukan rakyat di alun-alun. Seperti Karagoz dan Hacivat. Kalau di Indonesia pertunjukan ini seperti wayang kulit.
Di Mesir, tradisi berkumpul bersama kerabat tidak dilakukan di rumah, melainkan di taman atau yang disebut hadiqah. Hidangan Lebaran yang disuguhkan bukan ketupat opor melainkan makanan yang disebut ranja. Yang terbuat dari ikan asin dan asinan sejenis acar.
Bukan seberapa meriah sebenarnya Lebaran harus dirayakan. Namun rasa syukur mendalam yang menyertainya, yang harusnya lebih utama. Secara bahasa, ied artinya berulang. Sekalipun berulang, namun kondisinya tak harus serupa. Kadang datang dalam keadaan senang. Sesekali datang dalam kesedihan.
Demikian halnya hidup. Roda takdir terus bergerak menjemput ketentuannya. Adakah yang perlu dirisaukan? Tidak! Karena bagi seorang Muslim, hidup itu hanya berada di antara 2 pilihan. Di saat senang ia bersyukur. Di saat susah ia bersabar. Yang masih di kampung halaman, selamat menikmati kumpul bersama keluarga. Yang hari ini kembali dari mudik, fii amanilah. Semoga selamat sampai rumah kembali.