Jumat 29 May 2020 04:31 WIB
Tuyul

Kitab Al-Adawiyah Hingga Tuyul Pada Krisis Ekonomi 1930

Kitab Al-Adawiyah Hingga kajian tuyul pada 1930.

Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.
Foto:

Pada mulanya yang berlaku umum sebagai standar uang adalah koin emas. Selanjutnya dicetaklah kertas semacam kuitansi, sebagai bukti atau janji utang bagi pemegangnya. Kertas kuitansi atau uang kertas ini dapat ditukarkan kembali oleh pemegangnya dengan emas sebagaimana tertera dalam uang kertas tersebut.

Dalam hal ini mata uang dolar AS cetakan tahun 1922 berisi keterangan tentang penebusan emas ini senilai 10 dolar AS. Sedangkan pada uang kertas dolar cetakan tahun 1929 tidak lagi memberikan hak penebusan atas emas, dan hanya dikatakan “akan membayarkan” kepada pemegangnya senilai 10 dolar AS sebagaimana contoh di atas.

Mengintip 9 Linimasa Sejarah Perjalanan Rupiah, Mata Uang Indonesia

  • Keterangan foto: Uang kertas masa krisis ekonomi 1930.

Agar uang emas dan uang perak tidak berlaku sebagai alat tukar dan diganti dengan uang kertas, dalam perkembangan selanjutnya Presiden AS Franklin Roosevelt, menyatakan sebagai kejahatan bagi warga negara Amerika Serikat yang mempunyai emas lantakan atau koin emas dengan ancaman pidana kurungan dan penjara. Bank, lembaga-lembaga keuangan, dan warga AS diberi waktu tiga minggu untuk menyerahkan semua koin emas, emas lantakan, sertifikat emas.

Sebagaimana terjadi di Indonesia sebelum terjadinya malaise, pemerintah kolonial Belanda telah mengedarkan koin atau uang emas, seperti talenan (25 sen), 50 sen, 1 gulden sebelum mengedarkan uang kertas.37 Kedatangan Belanda sendiri sejak tahun 1602 ke Indonesia pada mulanya membawa uang logam terutama uang perak untuk dijadikan alat tukar dengan hasil-hasil tropis di Nusantara melaui Vereenigde Ost-Indische Compagnie (VOC).

Sebelum beredarnya uang emas dan uang perak dari VOC, menurut Quinn (dalam Boomgard, 1998: 284-285), keping uang emas dan perak asli buatan pribumi di Jawa sudah digunakan sejak abad ke-8. Selanjutnya beredar juga uang tembaga dari Cina sejak abad ke-13, pada abad ke-16 beredar uang emas dan uang perak Portugis dan Spanyol, dan pada abad ke-17 beredar pula uang perak Belanda.

Pada abad ke-18, Belanda juga menge-darkan uang tembaga yang disebut duiten. Namun, koin emas dan koin perak mulai diberlakukan di Indonesia sejak peradaban Hindu datang ke Indonesia pada abad ke-4. Mereka menggu- nakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing yang menginspirasi penduduk lokal atau penguasa untuk membuat mata uang sendiri.

Perlahan-lahan penggunaan koin emas dan koin perak yang sudah berlaku sekian abad lamanya hilang dari peredaran teru- tama sejak terjadinya malaise. Menurut reportase Gatra edisi 20 Agustus 2005 berjudul Mikul Duwur. Pada masa krisis tersebut pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk pribumi dengan sangat zalim terutama sejak awal terjadinya krisis ekonomi dunia tersebut.

Hal ini sebagaimana analisis statistik tahun 1930 tentang porsi yang menetes untuk warga Hindia-Belanda. Hasil analisis ini menunjukkan penduduk pribumi (sons of soil) yang waktu itu berjumlah 59 juta hanya mendapatkan 3,6 juta gulden (0,54%) dari penerimaan Hindia-Belanda. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kelompok kulit putih yang hanya 241.000 jiwa namun menikmati 665 juta gulden (99,3%) dan kelompok asia timur yang berjumlah 1,3 juta jiwa mendapatkan 0,4 juta gulden.

Keadaan ini menjadikan penduduk pribumi yang ingin memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan masih memiliki harta terutama emas mengantre setiap hari di depan loket pegadaian. Dari kantor milik pemerintah Hindia-Belanda ini, sekian jumlah emas milik mereka selanjutnya mengalir ke negeri Belanda dengan total nilainya sebesar 158 juta gulden. Sementara itu, rakyat yang sudah tidak memiliki apa-apa banyak yang melakukan kerusuhan, mencuri, membegal, dan menodong baik di kota-kota maupun di desa-desa.

--------

*Nurman Kholis, adalah peneliti di Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Menurut penulis, karya ini berawal dari bagian tesis yang pernah ditulisnya untuk disertasi di FIB-UNPAD Bandung, tetapi telah di-update sehingga berbeda dengan aslinya.Tulsan ini kemudian dimuat dalam 'Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 1 - 22.

Pada bagian pendahuluan asli tulisan ini sengaja Republika.co.id  hilangkan karena keterbatasan halaman pemuatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement