REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Pakistan mengutuk dimulainya pembangunan sebuah kuil di situs Masjid Babri di India. Hal ini disebut dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Pakistan, Rabu (27/5).
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Pakistan mengatakan, Rashtriya Swayamsevak Sangh nexus dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa, menggunakan pandemi Covid-19 sebagai pengalihan isu. Ia tanpa malu-malu terlibat dalam memajukan agenda 'Hindutva'.
"Dimulainya pembangunan Mandir di lokasi Masjid Babri yang bersejarah di Ayodhya pada 26 Mei 2020 adalah langkah lain ke arah agenda Hindutva. Pemerintah dan rakyat Pakistan mengutuknya itu sebesar-besarnya," bunyi pernyataan itu dikutip di Geo News, Kamis (28/5).
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Pakistan itu juga menulis, dimulainya konstruksi Mandir adalah lanjutan dari keputusan kontroversial yang diberikan Mahkamah Agung India pada 9 November 2019. Keputusan ini sepenuhnya gagal menegakkan tuntutan keadilan.
Putusan pembangunan di Masjid Babri oleh pengadilan tinggi India disebut merobek-robek lapisan yang disebut 'sekularisme' India. Hal ini menegaskan jika kaum minoritas tidak aman di India dan mereka merasa takut akan nyawa, kepercayaan dan tempat mereka beribadah.
"Perkembangan yang berkaitan dengan Masjid Babri, Undang-Undang Perubahan Kewarganegaraan (CAA) yang diskriminatif, inisiasi proses Daftar Warga Nasional (NRC), dan pembunuhan yang ditargetkan terhadap Muslim di Delhi pada Februari 2020 adalah ilustrasi yang jelas tentang bagaimana umat Islam di India berada dipinggirkan, dirampas, dan menjadi sasaran kekerasan yang tidak masuk akal," lanjutnya.
Pernyataan tersebut juga menggarisbawahi tindakan penggerebekan atau main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh penjaga sapi dan skema jahat seperti 'ghar wapsi', 'cinta jihad' dan 'corona jihad' adalah bagian dari pola pikir ini.
India telah berubah menjadi "Hindu Rashtra". Sebagaimana dibuktikan oleh agenda "Hindutva" sayap kanan yang tampaknya telah meresapi institusi-institusi negara juga.
Pakistan disebut telah menyadarkan masyarakat dunia, jika India saat ini di bawah pengaruh RSS-BJP dan didorong oleh campuran dari ideologi ekstremis dan ambisi hegemonik. Hasilnya adalah ancaman yang semakin meningkat terhadap keselamatan dan kesejahteraan minoritas di India serta perdamaian dan keamanan di wilayah ini serta di luar.
"Gelombang pasang fanatisme agama di India didokumentasikan dengan baik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional. Hal ini secara teratur disoroti oleh media internasional, dan diangkat di sejumlah Parlemen dunia," ujar tulisan pernyataan itu.
Menurut Kementerian Luar Negeri Pakistan, negara ini telah menyerukan kepada masyarakat internasional meminta India bertanggung jawab atas pelanggaran terus-menerus terhadap hak asasi minoritas. Mereka juga mendesak pemerintah India mengambil langkah segera memastikan hak-hak semua minoritas dilindungi sepenuhnya dan dipromosikan sesuai kewajiban India berdasarkan instrumen internasional.
Sebelumnya, Perdana Menteri Imran Khan juga mengecam pemerintah Modi Supremasi Hindutva. Ia mengatakan hal tersebut menjadi ancaman bagi tetangga India.
Dalam sebuah cicitan yang diunggah oleh PM Imran, Rabu (27/5) kemarin, ia mengutip perihal sengketa perbatasan India dengan Cina dan Nepal, serta dampak negatif dari Undang-Undang Kewarganegaraan (Amandemen) pemerintah Modi terhadap Bangladesh.
"Pemerintah Supremasi Hindutva, Modi Govt dengan kebijakan ekspansionisnya yang arogan, mirip dengan Lebensraum (Ruang Angkasa) Nazi, menjadi ancaman bagi tetangga-tetangga India. Bangladesh melalui Citizenship Act, perselisihan perbatasan dengan Nepal dan Cina, dan Pakistan mengancam dengan operasi bendera palsu," tulisnya di Twitter.
Dalam unggahan selanjutnya, ia menulis, "Semua ini terjadi setelah aneksasi ilegal Jammu dan Kashmir yang menduduki India, kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa ke-4, dan mengajukan klaim kepada Azad Jammu dan Kashmir".
Perdana menteri mengatakan India adalah ancaman bagi minoritasnya dengan menurunkan mereka ke status warga negara kelas dua dan bagi perdamaian regional juga.