REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nawawi
Suatu waktu, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW marah kepada orang yang selama ini dinafkahinya, yakni Misthah bin Utsatsah. Sampai-sampai ayah dari Aisyah itu bersumpah tidak akan lagi memberi bantuan nafkah kepada Misthah.
Namun, Islam adalah agama paripurna, menghendaki maslahat yang didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa sedikit pun keraguan. Allah pun menegur sikap pria yang lembut dan penyayang itu.
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur [24]: 22).
Ibn Katsir menggambarkan sikap Abu Bakar atas ayat yang berkenaan dengan dirinya itu. “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah ia, (Abu Bakr) ash-Shiddiq adalah ash-Shiddiq (orang yang sangat terpercaya).
Tidak bisa kita pungkiri bahwa di dalam interaksi hidup, kadang ada khilaf bahkan salah yang kadang tidak dirasa serius oleh yang melakukan, namun teramat mengganggu pada diri sendiri. Padahal, selama ini banyak kebaikan telah kita berikan kepada orang yang demikian itu.
Jika pun itu terjadi, maka jangan pernah mogok untuk berbuat kebaikan. Perintah Allah jelas, maafkan dan tetaplah berbuat baik kepadanya. Jika ia miskin, bantulah nafkahnya, jangan biarkan kekurangan apalagi sampai terlunta-lunta.
Di sini sebagian orang mungkin berat menerima, "Kok, enak sekali," begitu mungkin pikirnya. Tetapi, jika kita kembali pada inti ajaran Islam, di mana dalam hidup ini kita berupaya mendapatkan ridha Allah, maka sungguh perintah tersebut tidaklah sulit untuk dilakukan.
Terlebih, dalam banyak ayat Alquran, Allah berjanji akan selalu bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.
"Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah [2]: 195).
Oleh karena itu, pertanyaan Allah kepada Abu Bakar, "Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?"
Dengan demikian, jangan sampai rasa kesal, rasa marah, rasa jengkel, menjadikan kita berhenti dari berbuat kebaikan. Karena pada hakikatnya, Islam ini adalah jalan hidup bagi orang yang ingin Allah memberikan ampunan, maaf, rahmat dan kasih sayang-Nya. Semoga Allah jadikan diri kita adalah diri yang gemar berbuat kebaikan selama-lamanya. Dan, tidak pernah mogok, sekalipun juga.