Ahad 24 May 2020 11:32 WIB
Papua

Kapan Islam dan Muhammadiyah Hadir di Tanah Papua?

Sejarah Belum Dituliskan: Kapan Islam dan Muhammadiyah Tiba di Tanah Papua

Mengumandang adzan di Papua.
Foto:

Sama halnya dengan kapan awal masuknya Islam di Papua, soal kapan waktunya Persyarikatan Muhammadiyah masuk dan eksis di Papua juga belum jelas benar, minimal ada kesepakatan. Padahal bila direnungkan, keberadaan Islam  di sana terindikasi sangat jauh rentang waktunya dengan eksistensi Muhammadiyah yang baru berdiri pada awal dekade kedua tahun 1900-an, tepatnya baru pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta.

Jadi dalam soal sejarah yang lebih muda saja — eksisnya Persyarikatan Muhammadiyah — sangat wajar bila belum ada kepastian, apalagi sejarah yang lebih rumit dan tua soal keberadaan Islam di Papua, juga belum ada tanda-tanda kejelasan. Dua hal ini jelas sama-sama membingungkan dan butuh kajian yang sangat serius.

Namun, khusus untuk soal data kapan Persyarikatan Muhammadiyah mulai eksis di tanah Papua ada fakta yang menarik. Data ini didapat  dari seorang akademisi di Universitas Papua (Unipa) yang ada di Manokwari, DR Mulyadi Djaya. Dia juga sekaligus menjadi ketua pengurus wilayah Muhammadiyah, Papua Barat.

Dalam perbincangan dia pun mengakui, bila nasib kepastian awal sejarah eksistensi Persyarikatan Muhammadiyah sama juga dengan sejarah awal kedatangan ajaran Islam di sana. Indidkasinya pun masih serba sumir, karena kemudian dikaitkan dengan kedatangan para aktvils politik para pejuang kemerdekaan Indonesia yang saat itu menjalani hukum pembuangan di kamp Boven Digul.

Selain itu, masih juga terasa sangat awal, karena soal eksistensi Muhammadiyah di Papua hanya ditandai dengan adanya shalat Idul Fitri atau shalat Ied bersama di lapangan. Dan ini juga masuk akal karena para ulama dan aktvis Muhammadiyah kala itu memang getol mengubah kebiasaan masyarakat yang selama ini menggelar shalat Ied di dalam masjid dengan menggantinya di luar ruang atau di lapangan terbuka. Alasan utamanya adalah untuk syiar Islam.

“Belum diketahui secara pasti kapan tradisi sholat ied di lapangan dimulai. Sebelumnya sholat Ied itu berjamaah di luar Papua diselenggarakan di masjid, suro atau musollah. Nah, oleh Muhammadiyah kebiasaan ini diubah. Semangat  ini meluas sampai ke Papua yang dibawa oleh para tokoh perjuangan bangsa yang kala itu dibuang ke Digul. Mungkin ini bisa menjadi salah satu indikasi mengenai awal spirit atau awal sosok organisasi Persyarikatan Muhammadiyah eksis di tanah Papua,’’ kata Mulyadi.

Menurutnya di Papua shalat Ied dilapangan sudah berlangsung sejak tahun 1926 silam ketika seorang tokoh pejuang dari Aceh Teuku Bujang Selamat mengerahkan ummat Islam di Merauke  —  Papua paling timur— untuk merayakan hari raya di tanah lapang.

Dan tak hanya Teuku Bajang saja, aktivis Muhammadiyah yang kala itu dibuang ke Digul atau disebut juga sebagai orang 'excil' juga banyak terkena hukum buang di sana. Misalnya, pada saat yang sama juga  ada sosok seorang mantan tokoh Muhammadiyah asal Solo yang juga dibuang di Digul karena terlibat, bahkan dianggap salah satu selaku pengobar Pemberontakan PKI di Hindia Belanda tahun 1926. Dia bahkan dimakamkan di sana, tepatnya di Manokwari. Tak hanya itu di sana ada banyak pula tokoh ulama dan akivisi perjuangan bangsa yang lain, seperti Moh Hatta yang juga dikenal sebagai sosok Muslim yang amat saleh.

Tapi berbeda dengan sosok H Misbach yang kontroversial, Teuku Bajang yang sempat menjalani masa pembuangan selama 21 tahun itu sebelum kembali ke Aceh, kala berada Digul memang aktif memperkenalkan ajaran Islam. Meski dalam pengawasan ketat Belanda dan Teuku Bajang kerap mencuri waktu untuk berdakwah di Merauke. Tujuannya untuk merubah agar rakyat dan umat Islam di sana memperoleh hidup yang berkemajuan.

Bila ditelusuri lagi, mengenai siapa sebenarnya Teuku Bujang Selamat, ternyata diketahui aslinya  bernama Bujang Salim Bin Rhi Mahmud. Dia adalah anak muda Aceh yang pada pada tahun 1920-an getol melakukan dakwah agama Islam seklaigus melakukan pergerakan politik melawan Belanda.

Akibat aktivitas itu, Teuku Bujang dianggap orang paling berbahaya bagi rezim kolonial. Dia kemudian ditangkap dan ditahan, kemudian diasingkan jauh ke ujung timur kawasan Indonesia dan sangat terasing, yaitu dikurung dalam kamp tahanan di Boven Digul Merauke pada 21 April 1922. Selama ditahan di Merauke sebelum dibawa ke penjara Digul, kesempatan itu malah dipakai oleh Teuku Bujang Salim bersama anak-anak Muslim setempat untuk berdakwah di kampung-kampung sekitarnya.

Pada saat itu, di Merauke dan Digul ummat Islam saat itu sudah mulai banyak. Terindikasi mereka mulai ada semenjak  kurun waktu 1906-1919. Asal-usulnya antara lain berasal dari pegawai atau tentara KNIL yang ditugaskan oleh Pemerintah Belanda, para buruh tani perkebunan tebu milik Belanda yang didatangkan dari Jawa, dan para pedagang. 

Selama dalam masa pembuangan di Merauke aktivitas dakwah Teuku Bujang tak pernah surut dengan pendekatan cara  khas Muhammadiyah, yaitu mempelopori pelaksanaan sholat Iedul Fitri di lapangan terbuka yang waktu pelaksanaannya berdasarkan hasil metode 'hisab', mendirikan gerakan Pramuka Hizbul Wathon, klub sepak bola, dan drumband. Bahkan untuk menunjang pendidikan putra-putri Muslim pada tahun 1929 aktvis pendakwah dan sekaligus aktivis politik ini mendirikan madrasah pertama di Merauke. Bahkan madrasah tersebut kini termasuk lembaga pendidikan Islam tertua di Papua.

Tempat Pengasingan Boven Digoel - Wikiwand

  • Keterangan foto: Suasana kawasan sekitar kamp Boven Digul yang ganas penuh rawa nyamuk malaria. (foto.gahetna.nl).

Setelah itu dia juga membangun masjid yang sekarang bernama Masjid Nurul Huda, selain masjid Jamik yang sudah dibangun pada 1915. Dan sekiranya dapat ditengarai dari situlah cikal bakal berdirinya pergerakan Muhammadiyah.

Atas segala aktvitas dakwahnya ini, Teuku Bujang Selamat yang kini berada di Meruake  dicurigai Pemerintah Belanda. Akhirnya kemudian dia kembali ditangkap pada 1935. Dia kini dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul yang lebih terisolir lagi di mana jaraknya sekitar 450 km dari Merauke. Jadi kini dia dibawa ke tanah pembuangan baru yang lebih berbahaya yang kala itu untuk mencapainya harus melalui hutan belantara dan melayari alur sungai yang ganas.

Pada tahun 1942 saat Jepang menyerang ke Papua, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan lalu dibawa balik kembali ke Merauke. Tak cukup dengan itu, untuk semakin melumpuhkan pergerakan ulama Aceh tersebut, pada tahun 1943  Belanda membawa Teuku Bujang ke Australia.

Semenjak itu, hingga tujuh tahun ke depan dia bermukim di Australia. Baru pada tahun 1950, berdasarkan perjanjian antara Belanda-Indonesia untuk pengembalian semua tahanan politik, Teuku Bujang Salim dikembalikan ke Jakarta dan pulang ke kampung kelahirannya Keude Amplah, Nisam, Aceh Utara. 

Tempat Pengasingan Boven Digoel - Wikipedia bahasa Indonesia ...

  • Keterangan foto: Kamp pembuangan para aktivis perjuangan kemerdekaan Indonesia di Boven Digul. Kamp ini berada di tempat terasing di pinggir sungai Digul yang luas dan kala itu penuh buaya serta di tepi kawasan hutan yang lebat.

                            

                                    *****

Memang khusus untuk Teuku Bujang Salim, ada hal yang istimewa yang bisa menjadikan dia disebut sebagai salah satu pelopor aktvis dakwah persyarikatan Muhammadiyah di Papua. Hal itu terkait di masa awal sebelum Teuku Bujang Salim berangkat untuk diasingkan ke penjara yang disebut sebagai neraka dunia karena penuh dengan nyamuk malaria, dikelilingi sungai penuh Buaya, dan hutan lebat, yakni kamp pembuangan di Boven Digul.

Hebatnya, meski terancam hidup sengsara Teuku Bujang Salim tak gentar. Sebelum diasingkan dia tetap melanjutkan seruan perjuangannya dengan menyarankan kepada ummat Muslim untuk meminta tenaga guru ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan agama Islam tersebut.

Maka pada tahun 1933 datanglah Ustadz Jais yang dikirim oleh PP Muhmmadiyah Yogyakarta untuk bertugas di Madrasah Muhammadiyah di Merauke itu. Beliau bertugas disana sampai tahun 1935, lalu diganti oleh Ustadz Asrar bertugas sampai tahun  1936. Ustadz terakhir yang dikirim oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta adalah Ustadz M Chotib.

Jadi, kedatangan Teuku Bujang Salim tersebut merupakan periode pertama berkembang serta eksisnya Persyarikatan Muhammadiyah di Papua yang berlanjut di Fakfak, Jayapura, dan Sorong hingga saat ini.

Akhirnya, dalam kisah ini tercermin bagaimana dari dahulu warga Muhammadiyah memang terus berusaha melebur serta hidup damai berdampingan dengan budaya dan warga lokal yang berbeda-beda. Sebuah pelajaran sejarah kehidupan yang indah dari ujung paling timur Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement