REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengapresiasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 28 tahun 2020 karena tidak menggeneralisasi pelarangan mutlak shalat Idul Fitri.
Dia menegaskan, Fatwa MUI itu tidak melakukan generalisasi seperti yang dilakukan pemerintah seperti pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD. Menurut politikus PKS itu, Mahfud menegaskan bahwa umat Islam yang melaksanakan shalat Idul Fitri di masjid atau di lapangan dalam kondisi pandemi Covid-19 melanggar undang-undang.
"Padahal MUI dalam Fatwa No. 28/2020 tidak menggeneralisasi pelarangan mutlak solat Idul Fitri. Salat Idul Fitri dilaksanakan di rumah, di seluruh kawasan yang oleh pemerintah dimasukkan dalam kategori Zona Merah karena diberlakukannya PSBB," kata Hidayat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Menurut HNW, Fatwa MUI No 28 tahun 2020 memperbolehkan umat Islam menyelenggarakan shalat Idul Fitri di tanah lapang, masjid, dan mushola apabila berada di kawasan zona hijau yaitu kawasan yang penyebaran Covid-19 sudah terkendali atau yang diyakini tidak terjadi penyebaran virus tersebut.Namun menurut dia, apabila penyebaran COVID-19 masih belum terkendali atau berada di zona merah PSBB, Fatwa MUI pun menyebutkan, umat boleh menyelenggarakan solat Idul Fitri di rumah.
"Dalam kedua kondisinya, Fatwa MUI menyebutkan bahwa tetap dengan harus melaksanakan protokol penanganan COVID-19," ujar dia.
HNW mengatakan, generalisasi pelarangan salat Idul Fitri, menjadi bukti bahwa pemerintah tidak mengindahkan Fatwa MUI dan itu tidak bijaksana serta tidak mencerminkan keadilan.Menurut dia, kesalahan memahami Fatwa MUI terkait COVID-19 telah mengakibatkan masalah tersendiri di lapangan yaitu ada masjid yang digembok, tidak terdengar kumandang adzan dan umat tidak bisa melaksanakan shalat di masjid sekalipun mereka berada di luar zona merah.
HNW juga mempersoalkan ketidakadilan dari pejabat negara, karena mereka hanya "tajam" melakukan pelarangan kepada umat terkait pelaksanaan shalat di masjid. Di sisi lain, ujar dia, pejabat tumpul ntuk lakukan pelarangan terhadap objek hukum lainnya yang melanggar aturan terkait PSBB di berbagai tempat dan rumah ibadah selain masjid.
Menurut HNW, pemerintah memiliki dasar hukum, yakni Pasal 59 ayat (3) huruf b UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) meliputi pembatasan kegiatan keagamaan. Ketentuan itu pun diperkuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. "Namun aturan tersebut perlu dilaksanakan secara obyektif," ujar dia.