REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Amil zakat secara tegas disebut di dalam Alquran sebagai kelompok yang berhak menerima zakat setelah fakir dan miskin. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat …” (QS. al-Taubah/9: 60). Berdasar urutan ini, pantas kalau amil zakat menjadi perhatian.
Menurut Yusuf Qaradhawi dalam Fiqhu al-Zakat, amil zakat adalah pegawai yang bertugas mengurus zakat. Bagi pengarang Tafsir Jalalain, amil zakat itu adalah orang-orang yang bertugas menarik zakat, mengumpulkannya, menuliskanya, dan membagi-bagikannya. Jadi amil zakat harus memenuhi kapasitas moral dan intelektual.
Orang yang memiliki kedua kapasitas ini, dapat mengajukan diri sebagai amil zakat, seperti terekam dalam Alquran, “Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf/12: 55). Ada yang menginterpretasi Nabi Yusuf pandai dalam hal menulis dan menghitung.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kamu, kami angkat jadi amil zakat, lalu ia gelapkan sebuah jarum atau lebih, maka pada hari kiamat ia akan datang sebagai pengkhianat.” (HR. Muslim). Secara tegas Yusuf Qaradhawi memasukkan syarat bagi amil zakat haruslah orang yang jujur, karena diamanahi harta kaum Muslimin.
Dalam sejarah hidup Nabi SAW dan sahabat, amil zakat rentan dengan suapan. Abu Humaidi al-Sa’di berkata, “Nabi SAW telah mengangkat seorang laki-laki dari suku Azad menjadi amil zakat. Ia dipanggil orang dengan sebutan Ibnu al-Luthbiah. Satu waktu ia datang menghadap Nabi SAW, lalu berkata, “Ini bagianmu, dan ini hadiah untuk saya.”
Nabi SAW bersabda, “Aku telah mengangkat dari kalanganmu orang ini untuk mengerjakan sesuatu yang diserahkan Allah kepadaku. Lalu suatu ketika ia datang dan berkata, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku”. Bila ia jujur, apakah jika seandainya ia diam di rumah orangtuanya, hadiah itu akan datang kepadanya? …” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara praksis, amil zakat harus pro-aktif menarik dan mengumpulkan zakat. Allah SWT berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. al-Taubah/9: 103). Dalam ayat ini, amil zakat diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengambil, bukan menunggu orang datang membayar zakat.
Pada zaman Nabi SAW, seperti diungkap pengarang Tafsir Jalalain, beliau mengambil sepertiga harta mereka yang kaya untuk kemudian menyedekahkannya. Untuk konteks saat ini mengambil zakat dari muzaki oleh amil zakat tentu setelah ada komunikasi dan ketentuan yang disepakati. Besarannya paling rendah 2,5 persen dari total harta.
Bagi amil zakat, pekerjaan menarik zakat dan mengumpulkannya lebih mudah ketimbang mendata mustahik yang tepat sasaran dan mendistribusikannya. tehadap golongan utama penerima zakat, misalnya, amil zakat akan dengan sangat mudah menemukan orang miskin tapi kesulitan mendapati orang fakir.
Sebab, nenurut Imam al-Thabari dalam Tafsir al-Thabari, orang miskin adalah orang yang memiliki kebutuhan hidup dan suka meminta-meminta. Sedangkan orang fakir adalah orang yang memiliki kebutuhan hidup namun tetap menjaga diri dari meminta-minta. Maka selain jujur, syarat amil zakat itu harus yang paham hukum zakat dan melaksanakannya.