REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihza Aulia Sururi Tanjung
Sebuah video singkat bercerita tentang Prof BJ Habibie. Sosok cendekiawan Muslim yang dijuluki “Mr. Crack” itu dikaruniai intelegensi di atas rata-rata manusia. Selain jenius, ketajaman berpikirnya membuat dia mampu menyelesaikan masalah keretakan pada pesawat, dan sepanjang sejarah belum ada manusia yang bisa melakukannya, kecuali beliau.
Singkat cerita, ia tersentak oleh rahasia kepintaran dua orang Yahudi di kelasnya. “Rudi (pangilan akrab Baharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie, Red), kami yakin, bahwa membaca Alquran dapat menstimulus saraf kami, sehingga saraf kami rileks saat mendengarnya,” ujar salah seorang Yahudi itu. Seakan rahasia mereka menampar dirinya yang beragama Islam sejak lahir. Mengapa mereka orang non-Muslim justru lebih paham dan mengamalkan perintah Allah SWT? Padahal, mereka sendiri tidak beriman kepada-Nya. Sementara orang Muslim saja, belum tentu bisa dan mau melakukannya.
Selepas itu, ia pun tak pernah luput membaca Alquran setiap harinya. Dengan penuh pengharapan, Allah akan mencurahkan rahmat, mencerdaskan beliau sesuai dengan yang Dia janjikan (QS Al-A’raaf: 204). Setelah menjalankan amalan tersebut, jadilah Habibie bintang kelas dan mengalahkan kedua Yahudi tersebut.
Video berdurasi empat menit itu menggugah penulis untuk mencari tahu lebih mendalam. Penulis bertanya-bertanya dalam hati, “Apa yang membuat Al-Quran bisa merangsang otak sehingga bisa membuat seseorang pintar ?” Awalnya, penulis berasumsi bahwa kandungan-Nya yang baik dan indah menjadi pengaruh utama dalam konteks ini. Tapi, bagaimana bisa orang yang tidak berbicara Bahasa Arab menangkap sentuhan Illahi yang tidak mereka ketahui artinya dengan baik ?
Pada tahun 1984, disebutkan dalam konferensi kedokteran Islam Amerika Utara, Alquran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97 persen bagi pendengarnya. Riset tersebut dikokohkan kembali dengan hadirnya penilitian ilmuan Islam Muhammad Salim saat dipublikasikan di Universitas Boston, AS. Responden mendapatkan ketenangan sampai 65 persen ketika mendengarkan bacaan Alquran yang dibaca dengan tartil. Ajaibnya, seluruh responden sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkan adalah Alquran. Subhanallah.
Sebuah jurnal ilmiah dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2014), meneliti kekuatan Alquranterhadap peningkatkan konsentrasi seseorang. Alhasil setelah 30 menit mendengarkan tilawah, responden yang gagal melewati tes konsentrasi, akhirnya berhasil melewati untuk kedua kalinya dengan mulus. Ternyata, Alquran yang diperdengarkan dengan tajwid yang benar, akan merangsang otak untuk memproduksi zat kimia yang disebut neuropeptide (sebagai respons pada pikiran dan emosi). Zat tersebut akan menyebar di tubuh, sehingga memberikan umpan balik positif berupa kenyamanan dan menghilangkan kecemasan.
Sejatinya, banyak sekali penelitian ilmiah tentang keajaiban Alquran. Bahkan banyak ilmuan Barat telah mengakui kehebatannya, sampai meluluhkan hati mereka untuk berikrar dengan dua kalimat syahadat (misal Prof Dr Maurice Bucaille). Jauh sebelum itu semua, Allah ‘Azza Wa Jalla telah berbicara dalam Alquran tentang keagungan ayat-Nya yang mampu menenangkan, menghilangkan kecemasan (QS Al-A’raaf: 204) dan sebagai syifaa/penyembuh (QS Fushshilat: 44). Rasul pun membenarkan para sahabat yang menggunakan Alquran sebagai bacaan/doa dalam pengobatan ruqyah (HR. Abu Daud: 3402, Ahmad: 20833).
Baru-baru ini pun muncul keberhasilan terapi Alquran yang digunakan dalam proses pengobatan pasien Covid-19. Ketika mendengar ini, penulis teringat tafsir At-Thobari (Al-Israa: 82) bahwa An-Nur adalah syifaa/penyembuh bagi penyakit hati (dengki, iri hati) dan penyakit jasadiah. Inilah salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya.
Cerita di atas merupakan refleksi bagi diri kita dan renungan, sudah sejauh manakah kita mengimani dan membaca Alquran? Terlebih pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini. Jikalau orang Yahudi yang tidak beriman, percaya bahwa Alquran mampu menjeniuskannya, antas bagaimana dengan kita sebagai Muslim ?
Wallahu’alam bishowab.