Kamis 14 May 2020 14:41 WIB
Makkah

Kitab Etika Politik Ulama Makkah ke Sultan Banten Tahun 1637

Hadiah itab Etika Politik Ulama dan tata negara ulama Makkah Sultan Banten Tahun 1637

Santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Kampung Cilewong, Lebak, Banten, Minggu (26/4/2020). Pada bulan suci Ramadhan mengaji kitab kuning merupakan tradisi pesantren tradisional (salafi) dan modern untuk memperdalam ilmu agama antara lain ilmu fikih, akidah, tasawuf, ibadah, muamalah, dan tafsir Al Quran.
Foto:

                             * * * * *


Menariknya, manuskrip dari kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” ini diberikan sebagai hadiah oleh pengarangnya (Syaikh Ibn ‘Allân) kepada muridnya yang berasal dari Nusantara, yaitu Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir dari Kesultanan Banten (Sultan Banten ke-IV, m. 1624—1651 M).

Sebagaimana disebutkan dalam teks “Babad Banten” (ditulis sekitar tahun 1662), bahwa pada tahun 1636 Sultan Banten Abu al-Mafakhir Abdul Qadir mengirim tiga orang utusannya ke Makkah untuk bertemu dengan Syarif Zaid yang menjadi penguasa Makkah saat itu (m. 1631-1666), juga Syaikh Ibn ‘Allân yang menjadi ulama paling terkemuka di kota suci itu.

Para utusan Sultan Banten itu hendak meminta “legitimasi religius” dari Syarif Makkah, mengajukan beberapa pertanyaan yang direquest oleh sang sultan, meminta penjelasan tentang kitab “Nashîhah al-Mulûk” karya al-Ghazzâlî, kitab “al-Muntahî” karya Hamzah Fansuri (sufi dari Aceh) dan satu kitab tentang ajaran “wahdatul wujud” (kemungkinan kitab “al-Tuhfah al-Mursalah” karya Fahdlullâh al-Burhânpûrî, w. 1620). Utusan juga membawa serta beberapa hadiah dari Sultan Banten berupa rempah-rempah, antara lain cengkih, lada, pala dan kesturi.

Dua tahun kemudian (1638), para utusan Banten pun kembali dengan membawa beberapa hadiah balasan dari Syarif Makkah. Babad Banten menyebut hadiah tersebut berupa potongan kiswah Ka’bah, potongan tirai penutup makam Nabi Muhammad, serta bendera Nabi Ibrahim.

Selain itu, dibawa serta pula sebagai hadiah lain berupa dua buah kitab karya Syaikh Ibn ‘Allân sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Sultan Banten, yaitu kitab “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” (yang berisi fatwa-jawaban dari Syaikh Ibn ‘Allân atas sepuluh buah pertanyaan yang diajukan oleh Sultan Banten untuknya), juga kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk” (yang berisi penjelasan tentang isi kitab “Nashîhah al-Mulûk karya Imam al-Ghazzâlî yang dijadikan bacaan, pedoman dan acuan utama dalam etika politik dan tata negara oleh Sultan Banten).

Fakta sejarah di atas mengukuhkan jika kitab “Nashîhah al-Mulûk” karya al-Ghazzâlî menjadi bagian yang terintegrasi dengan sistem politik di Kesultanan Banten (Burhanudin, 2012: 47). Sultan Banten Abu al-Mafakhir Abdul Qadir pun tampak menjadikannya sebagai acuan dan cerminan etik dalam berpolitik dan menjalankan kekuasaannya. Dikirimnya karya Syaikh Ibn ‘Allân (al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk) berupa penjelasan atas kitab tersebut kepada Sultan Banten juga menunjukkan sang sultan sangat serius mempelajari dan menelaah isi kandungan kitab tersebut.

Di luar Banten, kitab “Nashîhah al-Mulûk” rupanya juga terintegrasi dengan sistem politik beberapa kesultanan Nusantara lainnya. Karena itu menurut Lambton (1981: 117), kitab “Nashîhah al-Mulûk” adalah karya yang menjadi bagian penting dalam sejarah politik dan tata negara di Nusantara pada abad ke-17.

Pada masa yang bersamaan, di beberapa kesultanan lain di Nusantara, juga lahir beberapa karya intelektual yang didedikasikan sebagai nasihat politik dan tata negara untuk para raja dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (Marrison, 1955: 61), seperti kitab “Serat Nitipraja” yang ditulis oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram di Jawa pada tahun 1641 (ditulis dalam bahasa Jawa aksara Jawa), juga kitab “Tâj al-Salâthîn” yang ditulis di Kesultanan Aceh oleh Bukhari al-Jauhari (al-Johori?) sekitar tahun 1603 (ditulis dalam bahasa Jawi [Melayu aksara Arab]).

Burhanudin (2012: 48) mengatakan jika “Tâj al-Salâthîn” adalah salah satu teks terpenting tentang ide-ide politik Islam di Nusantara. Teks ini secara khusus ditulis untuk menjadi panduan keagamaan bagi para raja. “Tâj al-Salâthîn” tidak hanya digunakan di Aceh, tempat di mana ia ditulis, tetapi juga di Jawa dan Sulawesi. Carey (1975: 344) mencatat bahwa “Tâj al-Salâthîn” disalin di Keraton Yogyakarta di Jawa pada 1831 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa untuk digunakan oleh Sultan Hamangkubuwono I dalam menjalankan politiknya di kerajaan.

Teks ini juga populer di kerajaan Islam di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana ia memengaruhi penulisan sebuah karya sastra politik untuk melegitimasi kaum aristiokrat kerajaan yang baru masuk Islam, yaitu “Budi Istirahat Indra Bustanil Arifin” (Pelras, 1993: 149).

Di masa-masa berikutnya, khazanah intelektual Islam Nusantara kian diperkaya oleh karya-karya dalam bidang etika politik dan tata negara ini. Di antara karya-karya tersebut adalah “Serat Wulang Reh” (bahasa Jawa aksara Jawa) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Surakarta oleh Pakubuwana IV (m. 1768-1820), kitab “Tsamarât al-Muhimmah” (bahasa Melayu aksara Arab) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Riau Penyengat oleh Raja Ali Haji pada tahun 1857, juga kitab “Jawharah al-Ma’ârif” (bahasa Melayu aksara Arab) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Bima pada tahun 1882 (Fathurrahman dalam Chambert-Loir, 2010: 191).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement