REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Qunut Nazilah, dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten dalam Kasyifah al-Sajaa, berbeda dengan Qunut Shalat Subuh dan Qunut Witir di paruh kedua bulan Ramadhan yang tergolong sunah ab’ad, yakni bagian perbuatan shalat yang apabila tertinggal bisa ditutupi dengan sujud sahwi. Nazilah itu artinya adalah musibah besar yang melanda.
Menurut Syaikh Nawawi, Qunut Nazilah adalah kesunahan di dalam shalat, bukan kesunahan yang termasuk bagian dari shalat. Minimal ada tiga keadaan Qunut Nazilah dilakukan. Pertama, terjadi peceklik. Kedua, adanya wabah penyakit. Ketiga, dalam kondisi peperangan melawan musuh.
Inilah spektrum motivasi Qunut Nazilah. Jadi bukan hanya dalam kondisi terjadi wabah penyakit saja. Seperti hadits yang bersumber dari Aisyah, “Dulu kami datang ke Madinah ketika kota ini banyak wabah penyakit. Abu Bakar dan Bilal pun jatuh sakit. Maka Nabi SAW membaca doa tatkala melihat para sahabatnya jatuh sakit.” (HR. Bukhari).
Sedangkan Qunut Nazilah yang dibaca untuk kehancuran musuh adalah seperti riwayat Ibnu Umar. Ibnu Umar mendengar Rasulullah SAW ketika beliau bangun dari rukuk, pada rakaat terakhir shalat Subuh, setelah membaca “Sami’allahu Liman Hamidah” beliau berdoa, “Ya Allah, laknatlah fulan, fulan, dan fulan.” (HR. Bukhari).
Secara historis, Nabi SAW membaca Qunut Nazilah di dalam shalat wajib. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW terkadang berdoa Qunut (ketika ada musibah) pada shalat Maghrib dan shalat Subuh.” (HR. Bukhari). Namun, Syaikh Nawawi berpendapat adalah sunah membaca Qunut Nazilah di setiap shalat.
Dalilnya seperti dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW berdoa Qunut (Nazilah) selama sebulan dan dilakukan berturut-turut pada shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan shalat Subuh pada setiap rakaat terakhir.” (HR. Ahmad). Secara praksis, caranya pada posisi i’tidal dalam rakaat terakhir di dalam shalat.
Tentang bacaan Qunut Nazilah, menurut Syaikh Nawawi, para ulama tidak memberi isyarat bacaan Qunut Nazilah sama dengan Qunut Shalat Subuh. Namun hendaknya doa yang dibaca selaras dengan malapetaka tersebut. Hal ini bisa kita pahami karena doa dalam Qunut Nazilah harus sesuai dengan keadaan yang menimpa seperti dicontohkan Nabi SAW di atas.
Berdasar sumber-sumber yang dikumpulkan para ulama, dalam pelaksanaan Qunut Nazilah harus memperhatikan sejumlah ketentuan. Pertama, wabah Corona termasuk kategori nazilah. Kedua, disunahkan dalam shalat lima waktu hingga bencana mereda. Ketiga, dilakukan dalam posisi i’tidal pada rakaat terakhir shalat wajib, sendiri atau berjamaah.
Keempat, bacaan Qunut Nazilah harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi dan dibaca keras oleh imam. Oleh karena itu, yang kelima, makmun mengaminkan bacaan Qunut Nazilah sambil mengangkat kedua tangan. Keenam, setelah membaca doa tidak disyariatkan untuk mengusapkan tangan ke wajah. Jadi berbeda dengan setelah berdoa di luar shalat.
Ketujuh, hanya Allah SWT yang dapat mengangkat bencana Corona yang melanda dunia. Allah SWT berfirman, “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-An’am/6: 17)