Ahad 19 Apr 2020 08:27 WIB
Jawa

Kekerasan Jawa: Laku Bandit Hingga Romantisme Lagu Swedia

Kekerasan Jawa: Dari Laku Bandit Hingga Romantisme Lagu Swedia

Lukisan suasana duka akibat kekerasan di Perang Sipil Amerika Latin.
Foto:

                          *****


Dalam buku itu, Suhartono menceritakan situasi perbanditan di ketiga wilayah di Jawa itu. Namun, sebelum menyoroti situasi perbanditan secara lebih rinci, Suhartono sempat menyebutkan berbagai jenis perbanditan yang ada di pedesaan Jawa pada saat itu.

Menurut dia, pada dasarnya semua perbanditan muncul karena rakyat pedesaan kehilangan orientasi dan lepas dari kehidupan budayanya akibat kemiskinan, penindasan, dan penghisapan oleh pihak kolonial . Aksi ini bisa saja dilakukan oleh individual atau sekelompok orang untuk mendapatkan haknya kembali yang telah dirampas.

Uniknya, selain dilakukan dengan melakukan perampasan harta, aksi perbanditan yang merupakan ekpresi dari perlawanan rakyat itu juga kerapkali diwujudkan dengan tindakan perusakan terhadap berbagai perusahaan milik penguasa saat itu. Di beberapa tempat misalnya, aksi perbanditan ini dilakukan dengan melakukan pembakaran terhadap kebun tebu, los tembakau, pengrusakan saluran irigasi, dan pengrusakan
gudang dan bangunan.

Adanya fenomena seperti itu, bisa dirujuk pada sumber data yang didapat dari arsip 'Kolonial Verslag'. Pada arsip itu  dilaporkan bahwa tindakan ‘perbanditan’ terjadi hampir setiap hari dan dilakukan dalam frekuensi yang cukup besar. Di pihak lain, resistensi serupa berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial yang diekpresikan dengan tindakan perbanditan itupun kerapkali diwujudkan dengan aksi perampokan dan kerusuhan yang serius.

Di Vorstenlanden (wilayah kerajaan yang ada di Yogyakarta dan Surakarta) dikenal munculnya 'kecu' (orang jahat) yang banyak melakukan perampokan di wilayah itu. Aksi mereka ini menyasar pihak pabrik, perkebunan, orang Cina, pemimpin wilayah setempat. Sedangkan di Batavia kerusuhan banyak ditujukan pada tuan tanah partikelir dan orang-orang Cina. Di Probolinggo dan Pasuruan aksi kekerasan itu memang seringkali dilakukan dengan cara melakukan pembakaran kebun tebu dan bedeng tempat penyimpanan tembakau.

Namun, selain ada yang dilakukan dengan maksud murni merampok, pada kenyataan lain aksi perbanditan itu juga kadangkala diekpresikan munculnya sebuah ‘kepemimpinan mistik’,  (aksi mesianis). Hal ini ditandai dengan munculnya seseorang yang mengklaim dirinya sebagai ‘ratu adil’ atau utusan Tuhan untuk membebaskan segala derita rakyat yang tertindas. Para bandit ini acapkali mengaku punya kekuatan
supranatural yang dapat dibanggkan dalam menghadapi lawannya, yakni para penindas itu.

Suhartono menulis, salah satu sosok bandit yang mengaku sebagai ‘orang suci’ itu adalah Mas Zakaria, seorang bandit dari Banten. Karier bandit Zakaria ini berlangsung pada tahun 1811-1827. Zakaria mengaku sebagai keturunan orang suci dari bapaknya yang ternyata juga seorang bandit. Bahkan, dua dasa warsa setelah kematiannya, masih banyak orang di Banten yang percaya roh Zakaria berperan dalam mengobarkan
pemberontakan Cikande yang pecah pada tahun 1847.

Para pelaku pemberontakan Cikande ketika ditangkap, banyak yang   mengaku bila
tindakan nekadnya  mengobarkan aksi perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda itu  adalah untuk meneruskan sepak terjang leluhurnya yang bernama Zakaria tersebut.

                               *****

Di Batavia juga dikenal aksi perbanditan yang dilakukan oleh Entong Gendut, yang tinggal di kawasan Jatinegara. Dia melakukan aksi kekerasan kepada tuan tanah yang  bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Entong menolak melakukan kewajibannya dan melunasi hutang kepada tuan tanah. Akibatnya para tuan tanah naik pitam. Mereka kemudian meminta pemerintah kolonial bertindak dengan mengerahkan
aparat keamananya untuk menangkap ‘Bang Entong.’

Namun, Entong pun tahu bahwa dirinya akan segera ditangkap. Dia kemudian mengumpulkan massa untuk melawan usaha penangkapan tersebut. Maka kemudian terkumpulah sekitar 40 orang yang bersedia bergabung dengannya untuk melakukan perlawanan. Dan untuk lebih menyakinkan pengikutnya bahwa dia seorang ‘ratu adil’ maka ketika melakukan perlawanan Entong pun membawa berbagai simbol tertentu yang dinilai punya kekuatan mistik, seperti mengibarkan bendera bergambar bulan sabit hingga melakukan pengajian bersama untuk membaca Alquran dan membacakan wirid.

Sikap Entong sebagai seoarang ‘ratu adil’ makin tampak ketika melihat cara dia melakukan perlawan terhadap pasukan polisi kolonial yang hendak meringkusnya. Saat bertempur dia bersama pengikutnya secara terus menerus memekikkan  teriakan ‘Sabilillah’ (perang suci di jalan Allah).

Aksi yang  sama juga muncul di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Sekitar tiga dasa warsa sebelum meletusnya perlawanan Entong Gendut, di dua kawasan tersebut saat itu juga merajalela aksi perbanditan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Masyarakat setempat menyebut pihak pelakunya sebagai gerombolan  ‘kecu’. Mereka mengincar aparat birokrat pemerintah tingkat desa, yang disebut ‘ bekel’.

Laporan Asisten Residen Sragen mislnya menyatakan, pada 15 September malam 1873 sekitar dua puluh orang tak dikenal menyerbu rumah ‘bekel’ di desa Kretek, Sragen. Tak cukup membawa 11 ekor kerbau, beberapa pikul padi, dan membawa kekayaan seharga 108,84 gulden, mereka juga membunuh isteri tua dari bekel tersebut. Aksi mereka tergolong cerdik karena kemudian tak bisa ditangkap.

Dan berbagai aksi seperti ini kemudian terus berlangsung secara luas dalam waktu cukup lama. Malahan, sampai masa dasa warsa pertama abad ke-20, akitvitas ‘kecu’ itu masih menunjukan frekuensi yang tinggi. Daerah Klaten malah bisa disebut sebagai wilayah yang punya banyak kejadian ‘pengkecuan’. Antara tahun 1885-1900 tercatat di Klaten terjadi 23 kali tindak peng-kecuan, Sragen 16 kali, Surakarta, 15 kali, Boyolali 13 kali, dan Wonogori 8 kali.

‘’Pada tahun 1915 peng-kecuan di Surakarta jumlahnya relatif besar, 51 kali, di bandingkan tahun-tahun sebelum 1900 yang rata-rata kurang dari 10 kali setahun. Rupanya hal ini ada korelasi antara resistensi petani dan gerakan Sarekat Islam sehingga gerakan ini mampu menampung aspirasi petanu. Yang terhitung sangat tinggi adalah pengekecualian yang terjadi tahun 1919 yang mencapai 85 kali setahun. Angka ini menurun drastis tinggak 24 kali setahun atau seperempatnya pada tahun 1924,’’ tulis Suhartono.

Jadi kerusuhan itu jamak dan akan terus terjadi. Kita yang masih menapak di atas bumi hanya bisa bersikap waspada dan tak usah ikut-ikutan dalam laku banal itu. Sebab, akhirnya situasinya hanya buruk belaka dan membawa ketragisan seperti elegi lagu ABBA yang lain yang berkisah tentang kenangan dua sosok pejuang pada perang revolusi Mexico (Amerika Latin). Lagu ini merintih-rintih dan bikin bulu kuduk meremang. Nadanya tak lagi menghentak seperti lagu 'The Winner Takes Its All'.

Jadi ke depan janganlah lagi sejarah ditulis dari hal kekerasan dan peperangan? Tapi apa mungkin? Apalagi karena lagu Jawa masa kini seperti yang dinyanyikan Didi Kempot, meski nadanya sedih bahkan marah sekalipun, bagi orang Jawa selalu bisa dipakai untuk berjoget. Sedih bagi mereka sama saja, layaknya secarik 'kertas lakmus' yang bisa menandakan basa dan asam.

Ambyari bukan...?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement