REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Alquran memberikan tuntunan untuk membentuk keluarga yang saleh. Di antaranya, seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT di dalam Surat Ash Shaffat (37) ayat 102, "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”
“Surat Ash-Shaffat ayat 102 ini memberikan landasan bagi kita dalam membentuk keluarga yang saleh,” kata Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS dalam pengajian online Masjid Al-Hijri 1 Bogor, Ahad (29/3).
Kajian Tafsir yang biasa digelar setiap Ahad pagi itu untuk sementara dilaksanakan secara online. Hal itu untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona atau Covid-19.
Guru Besar IPB University Bogor dan Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor itu menjelaskan, pelajaran dari QS Ash Shaffat ayat 102 antara lain sebagai berikut. Pertama, keluarga adalah institusi pertama pendidikan untuk mengajarkan sekaligus mempraktikkan dan membiasakan hal-hal yang positif, seperti patuh dan hormat kepada orang tua atas dasar keimanan kepada Allah SWT. “Perhatikan QS Luqman ayat 14 dan 15,” ujarnya.
Kedua, keluarga Nabi Ibrahim adalah contoh keluarga yang mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang dan cinta atas dasar kecintaan dan kepatuhan kepada Allah SWT.
“Anak dididik visi dan misi hidup yang sesungguhnya, yaitu menjadi Muslim yg istiqomah dalam iman dan amal soleh. Perhatikan QS Fushshilat (41) ayat 30-31,” tutur mantan ketua Baznas itu.
Ketiga, dalam keluarga dibiasakan dialog dan musyawarah antara orang tua dengan anak. Musyawarah dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT, seperti melaksanakan mimpi sang ayah (Nabi Ibrahim) untuk menyembelih putra yang dicintainya (Nabi Ismail).
“Karena kedua-duanya sudah memiliki prinsip hidup yang jelas, dan keyakinan bahwa mimpi tersebut adalah benar perintah dari Allah SWT, mereka dengan rela dan ikhlas melaksanakannya. Meskipun kemudian diganti oleh Allah SWT dengan penyembelihan seekor domba, yang kemudian menjadi syariat penyembelihan hewan kurban,” paparnya.
Keempat, memang tujuan musyawarah itu untuk melaksanakan perintah Allah SWT dalam kehidupan, bukan untuk membuat syariat atau aturan yang melanggar ketentuan-Nya. Misalnya musyawarah bagaimana upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ekonomi syariah. Bukan musyawarah untuk mengganti sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi ribawi.
“Hanya saja musyawarah ini bisa dilaksanakan dengan baik, apabila musyawirin (para peserta musyawarah) memiliki visi dan misi hidup yang sama, serta ketaatan kepada Allah SWT. Perhatikan QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS As Syuro (42) ayat 38,” ujarnya.
Kelima, masyarakat perlu mengambil hikmah dari adanya wabah Corona dengan memperkuat pendidikan keluarga. “Dalam kondisi sekarang, kita diperintahkan tinggal di rumah (stay at home), untuk mengurangi dan menghambat penyebaran Covid-19. Maka, mari kita pergunakan untuk menguatkan kembali rumah (keluarga) sebagai institusi pendidikan pertama dalam mengajarkan dan membiasakan hal hal yang positif dalam kehidupan,” papar Kiai Didin Hafidhuddin.