Jumat 27 Mar 2020 05:31 WIB
Papua

Menyusuri Jejak Islam Di Tanah Papua

Jejak Islam Di Tanah Papua

Masjid Patimburak di Fakfak, Papua Barat, menandai hadirnya Islam di tanah Papua sejak tahun 1700 lampau.
Foto:

Terbentuknya Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat, dalam bahasa Melayu) di kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, dapat dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut; (1)  Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo, (2) Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati. (3) Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool, (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram.Isitilah Kaicil adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati menurut tutur lisan masyarakat setempat,, diambil dari kata Shalawat.

 

Ada beberapa nama tempat yang merupakan pemberian Sultan Bacan. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. Nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan menyebarkan Islam di Papua sekitar pertengahan abad ke 15 dan kemudian abad ke 16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, setelah para pemimpin-pemimpin Papua di Kepulauan tersebut mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.

 

Pendapat ini didukung pula oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore ‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang menyebutkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat bahkan hingga Biak.

 

 

 

Peta Indonesia Timur. Sumber foto: Andaya, Leonard Y. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.
Peta Indonesia Timur. Sumber foto: Andaya, Leonard Y. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.

 

 

 

Penyebaran Islam kemudian juga disebarluaskan ke berbagai wilayah pesisir Papua Barat, seperti Kokas, Kaimana, Namatota, Kayu Merah, Aiduma dan Lakahia oleh para pedagang muslim seperti dari Bugis, Buton, Ternate dan Tidore. Kehadiran orang Buton diperkuat dengan kesaksian Luis Vaes de Torres di tahun 1606. Ia menyebutkan di daerah pesisir Onin (Fakfak) telah menetap orang Pouton (Buton) yang berdagang dan menyebarkan agama Islam.

 

Syi’ar Islam di Papua menjadi lebih mudah karena kesamaan budaya dan bahasa. Bahasa yang dipakai tergolong bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia, seperti bahasa di Bacan dan Sula (bahasa Biak di Raja Ampat; Tobelo dan bahasa Onin di Fakfak dan Seram; maupun bahasa non Austronesia seperti di Ternate; Tidore dan Jailolo karena masuk golongan Bahasa Halmahera Utara, yaitu bahasa Galela). Bahasa Onin telah lama digunakan sebagai lingua franca yang berguna sebagai bahasa untuk perdagangan dan penyebaran agama Islam. Bahasa ini dipakai oleh kalangan pedagang dan elit (pemimpin masyarakat) yang terdapat di pesisir pantai selatan ‘Kepala Burung’ dan Semenanjung Bomberey (Fakfak dan Kaimana).

 

Peta Raja Ampat. Sumber foto: Andaya, Leonard Y. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.
Peta Raja Ampat. Sumber foto: Andaya, Leonard Y. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.

 

Kemudahan komunikasi dengan para pemimpin masyarakat Papua, yang kemudian memeluk Islam, mendorong berdirinya kerajaan-kerajaan (Petuanan) otonom di bawah Kesultanan Tidore. Kerajaan-kerajaan (Petuanan) ini terdapat di Raja Ampat (Kolano Fat), yang tetap terpatri hingga kini sebagai identitas Pulau Papua. Kerajaan di Raja Ampat terdiri dari Kerajaan Waigeo (yang berpusat di Weweyai), Kerajaan Salawati (berpusat di Sailolof), Kerajaan Misool (berpusat di Lilinta) dan Kerajaan Batanta. Kerajaan-kerajaan ini berdiri dengan perangkatnya masing-masing, yang diberi gelar oleh Kesultanan Tidore, sebagai imbal atas upeti kerajaaan tersebut kepada Kesultanan Tidore.

 

Di wilayah Fakfak dan Kaimana kerajaan-kerajaan (Petuanan) ini terbagi menjadi sembilan, yaitu Petuanan Namatota, Komisi, Fatagar, Ati-ati, Rumbati, Pattipi, Sekar, Wertuar dan Arguni. Pengaruh Kesultanan Tidore di Kerajaan Wertuar misalnya, dapat dilihat dari pelantikan Raja Wertuar VII yang dilakukan oleh Sultan Tidore, Muhammad Tahir Alting pada tahun 1886. Sedangkan di Kampung Ugar, Fakfak, terdapat dokumen  silsilah Raja-Raja Ugar beraksara Arab, yang tertulis tahun 1929 M.

 

Pengaruh Islam kepada masyarakat papua dapat diperkirakan dengan melihat penerapan ajaran Islam yang terdapat di masyarakat Papua saat itu. Penerapan hukum Islam, misalnya, telah diterapkan masyarakat Pulau Misool, hinggak akhir masa kolonial Belanda. Di sana terdapat Hakim Syara’ yang bertugas mengurusi perihal perkawinan, kematian dan sholat berjamaa’ah. Kehadiran Masjid-masjid tua, seperti misalnya Masjid Tunasgain, yang diperkirakan dibangun sejak tahun 1587. Atau di Patimburak, yang diperkirakan sejak abad ke 19.

 

Kehadiran Masjid ini selain peninggalan fisiknya, dapat pula kita perkirakan kedudukannnya dalam masyarakat. Kehadiran Masjid sejak abad ke 16, menandakan sejak lama telah dilaksanakannya pendidikan Islam melalui khotbah Jum’at. Kehadiran Masjid bisa pula kita perkirakan berfungsi sebagai tempat pendidikan, meski dalam bentuk yang sederhana di masyarakat. Pola pendidikan sederhana ini dapat kita telusuri dengan ditemukannya kitab Barzanji, bertanggal 1622 M dalam bahasa Jawa Kuno dan teks khutbah Jum’at yang bertarikh 1319 M.[20] Kehadiran kitab Barzanji, dapat kita perkirakan sebagai upaya untuk menumbuhkan tradisi Islam dalam masyarakat.

 

Pengaruh Islam lainnya dalam masyarakat, dapat dilihat dari nama-nama yang terdapat dalam masyarakat Papua pribumi. Di desa Lapintol dan Beo, pada umumnya, kaum pria memakai nama-nama Arab seperti Idris, Hamid, Abdul Shomad, atau Saodah untuk perempuan. Islam juga mengubah penampilan masyarakat. Jika di pedalaman Papua, masyarakat aslinya belum berpakaian, dan hanya menutup bagian vitalnya saja, maka di pesisir penduduk Papua keadaan sangat berbeda.[22] Tak dapat dipungkiri, Syiar Islam di Papua mengalami proses yang gradual. Masih dapat ditemukan muslim Papua saat itu yang mempercayai kepercayaan Animisme atau kepercayaan lokal lainnya. Proses penyebaran Islam melalui kepala suku atau pemimpin masyarakat, membuat syi’ar Islam sangat bergantung kepada kepedulian kepala suku tersebut. Syiar Islam di Papua sedikit banyak juga terpengaruh oleh dinamika yang terjadi di Maluku.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement