Kamis 26 Mar 2020 16:40 WIB
Perang Aceh

Kisah Menambang Uang dari Perang Aceh (2)

Belanda menambang uang dari perang Aceh.

Pasukan Morsase (pasukan khusus Belanda) semasa perang Aceh
Foto:

Satu nama penting lainnya di balik penyerbuan Belanda ke Aceh adalah Willam Read. Ialah yang menyebarkan berita provokatif dan manipulatif ke James Loudon. Loudon bisa jadi bersalah karena percaya begitu saja informasi Read. Tetapi tanpa provokasi dan manipulasi Read yang begitu dramatis, Belanda tampaknya tidak akan menyerbu Aceh. Read jelas punya motivasi untuk menangguk keuntungan di balik penaklukan Aceh.

Di akhir tahun 1870-an, ia dikethaui terlibat dalam pendirian British North Borneo Company. Perusahaan dagang multinasional. Ia sempat menjabat sebagai direktur di perusahaan tersebut. Kemudian setelah diprotes oleh Pemerintah Hindia Belanda, Read mengundurkan diri dan menjadi pemegang saham dan agen dagang terpenting di Singapura. Menteri Luar negeri Belanda, W.F. Rochussen mengatakan modus Read dalam pecahnya Perang Aceh. Menurutnya, “Saya pribadi berkeyakinan bahwa Read berperanan besar sekali dalam membuat kesalahan kita yang terbesar itu dan terakhir (Perang Aceh). Dia sendiri telah memperoleh keuntungan di dalamnya dan baginya itulah yang paling penting.”

 

Menambang Uang dari Perang

 

Pundi-pundi yang dihasilkan dari perdagangan di Aceh memang menggiurkan. Pemerintah kolonial Belanda pun berupaya menangguk keuntungan dari perdagangan, logistik dan konstruksi di Aceh lewat peran Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM). NHM dibentuk pada tahun 1824 atas inisiatif Raja Willem I. Dapat dikatakan NHM berperan menggantikan VOC yang telah bangkrut. Saat masa tanam paksa, NHM berperan sebagai bankir negara, pedagang dan agen pelayaran. Tak heran NHM dijuluki Koempenie Ketjil merujuk pada VOC pada masa lalu. Berikutnya bahkan NHM menjadi pemberi pinjaman dan penjamin bagi perusahaan swasta. NHM juga bergerak dalam perkebunan dan memiliki beberapa perkebunan.

 

Pada Perang Aceh, NHM mendapatkan kontrak untuk menyuplai pasukan yang ditempatkan di sana. Bahkan NHM berperan membantu pasukan dengan membangun pangkalan batubara di Sabang yang sebagian didanai oleh anak perusahaan NHM, yaitu Aceh Association (AA).

 

Kantor NHM di Batavia. Sekarang Gedung Museum Bank Mandiri di Jakarta. Sumber foto: Koleksi Tropen Museum

 

Industri lain yang digarap NHM di Aceh adalah penambangan sumber daya alam. Mereka berinvestasi besar dalam pertambangan yang kemudian pada ekstraksi minyak dan menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar dari Aceh. Selain menyertakan pakar botani bersama pasukan militer di Aceh, NHM juga menyertakan insinyur pertambangan untuk melakukan survey kemungkinan adanya cadangan mineral di bumi Aceh. Hal ini didorong secara aktif oleh pejabat kolonial yang berwenang di Aceh seperti pemimpin militer, J.B. van Heutz. Termasuk keterlibatan NHM di Perlak bersama Royal Dutch Petroleum.

 

Persoalannya tentu jelas. Hubungan NHM dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda bersifat saling membutuhkan dan menguntungkan. NHM membutuhkan kontrak-kontrak dari pemerintah kolonial, sementara pemerintah kolonial membutuhkan NHM untuk mengembangkan dan mempromosikan perdagangan dan industri milik Belanda. Apalagi setiap kontrak yang diberikan pada NHM, parlemen Belanda harus mengesahkan satu payung hukum untuk mengesahkan kontrak tersebut. Posisi inilah yang membuat kolonialisme Belanda adalah sebuah ekspansi bisnis.

 

Persoalan kolonialisme semakin rumit ketika kehadiran para pejabat kolonial memiliki konflik kepentingan dengan menduduki posisi-posisi penting dalam perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Hindia Belanda, termasuk Aceh. Mantan Menteri Jajahan Kerajaan Belanda (1897-1901), Jacob Theodoor Cremer misalnya, ia menjabat Komisaris dari NHM setelah masa jabatannya usai.

 

J.T. Cremer Si Raja Tembakau di Deli bersama istri. Sumber foto: Koleksi digital KITLV.

 

Kedudukan Cremer ini dituding membuatnya memiliki konflik kepentingan dengan perang Aceh. Pieter Jelles Troelstra dari Partai Sosialis di Belanda menuding bahwa Cremer memiliki hubungan antara bisnis dengan Perang Aceh. Hal ini membuat Cremer mundur dari jabatannya sebagai Dewan Direksi Royal Mailing Service (KPM) dan perusahaan tembakau di Deli, Sumatera Timur.Lagipula bukankah di masa jabatan Cremer, pada tahun 1899, undang-undang pertambangan yang baru disahkan?

 

Kartun yang menggambarkan Van de Putte dan Perang Aceh dalam majalah Amsterdammer tahun 1896. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV

 

Industri pertambangan khususnya pengaruh perusahaan minyak Koninklijke begitu mencengkeram Batavia dan Den Haag. Presiden Komisarisnya adalah Sprenger van Eyk. Mantan Menteri Jajahan Kerajaan Belanda. Salah seorang komisaris Koninklijke adalah Johan Corenlis van der Wijck, yang pada tahun 1904 menjabat Gubernur Militer Aceh. Sementara itu, Hendrikus Colijn yang pernah ikut berperang di Aceh dan kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda kelak dikenal sebagai baron Minyak, pada tahun 1914 menjadi managing director Bataafsche Petroleum Maatschappij.

 

Segala peluang pundi-pundi tadi menjadi alasan logis bagi para pembesar Belanda yang berkepentingan untuk menaklukkan Aceh. Meskipun tewasnya Jenderal Kohler memukul mereka, tetapi tak membuat mereka surut untuk mempersiapkan ekspedisi kedua mereka ke Aceh.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement