REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra mengatakan, banyak kalangan baik di dalam maupun luar negeri mencemaskan masa depan Islam Indonesia wasathiyah. Sementara mereka yang menganut paham dan praksis Islam transnasional terlihat sangat aktif, dalam pada itu, ormas-ormas Islam pemegang Islam wasathiyah nampak pasif.
Hanya sekali-kali mereka bersuara tegas dan jelas menolak paham dan praksis Islam transnasional. “Ormas-ormas Islam yang memegangi jati diri wasathiyah seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas berpaham sama di seantero Indonesia jelas memiliki peran krusial dalam menjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia. Karena itu, ormas-ormas ini perlu senantiasa memperkuat jati diri Islam wasathiyah Indonesia,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Prof Azra mengemukakan hal tersebut saat tampil pada diskusi dan peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-34 No.2 Desember 2019 dengan tema “Memperkuat Kembali Moderatisme Muhammadiyah: Konsepsi, Interpretasi, Strategi dan Aksi”.
Acara yang digelar di Aula Kampus Uhamka Jakarta, pekan lalu itu menghadirkan nara sumber Prof Azyumardi Azra, Ahmad Najib Burhani PhD (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Dr Zamah Sari (Wakil Rektor II Uhamka). Acara ini dimoderatori oleh Pipit Aidul Fitriyana (Manager Program Riset Maarif Institute).
Dalam sambutannya, Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, mengatakan, isu tentang moderatisme Islam menjadi tren belakangan ini, utamanya di tengah maraknya radikalisme yang bisa membahayakan kedaulatan nasional, kepentingan ekonomi nasional, nilai-nilai budaya, dan identitas nasional.
“Saya meyakini bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi moderat tidak sehaluan dan tidak memberi ruang bagi adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul l-Ahd Wa al-Syahadah,” ujar Abd Rohim.
Najib Burhani berpendapat bila melihat beberapa fenomena belakangan ini seperti berbagai aksi intoleransi terhadap minoritas, mudahnya mem-bully secara berjamaah kepada mereka yang berpandangan berbeda, dan terjadi konflik keagamaan hanya karena persoalan sepele, ada kekhawatiran bahwa Islam moderat di Indonesia itu sudah goyah. “Tindakan intoleransi, diskriminasi, dan bigotry memang bukanlah masuk kategori terorisme, namun itu bisa menjadi awal dari perilaku yang bisa berujung pada terorisme,” jelas tokoh Muhammadiyah yang juga Peneliti Senior di LIPI ini.
Pembicara berikutnya, Zamah Sari, mengingatkan bahwa salah satu karakter moderasi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Ia berharap visi itu tidak hanya berhenti dalam ucapan dan jargon semata, tetapi menjadi laku tindakan nyata. Visi ini dalam konteks keindonesiaan adalah menjadi pengawal Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.