REPUBLIKA.CO.ID, Sepulang sekolah, putra Khalifah Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu. Dia bercerita bahwa teman-temannya selalu mengolok-olok karena bajunya paling kumal di sekolah.
Sebagai seorang ayah, Umar memahami kesedihan anaknya itu. Tetapi, dia tak berdaya karena gajinya sebagai amirul mukminin hanya bisa mencukupi kebutuhan paling primer. Setelah berpikir lama, Umar menulis surat ke bendahara negara. Dia mengajukan pinjaman utang empat dirham dengan potongan gaji sebagai jaminan
Tak lama suratnya dibalas. Isinya kira-kira seperti ini: ''Saya dapat meluluskan pinjaman Anda sebesar empat dirham, dengan memotong gaji Anda bulan depan sebagai jaminannya. Namun, sebelumnya tolong Anda jawab terlebih dahulu pertanyaan berikut dengan jujur: ''apakah Anda dapat memastikan akan hidup sampai bulan depan?''
Setelah membaca surat itu, Umar menggigil, matanya berkunang-kunang. Dia tersungkur bersujud seraya mengucap istighfar, memohon ampunan Allah. Umar lalu menulis surat kembali kepada bendaharawan negara. Dia berterima kasih telah diingatkan serta membatalkan niatnya berutang.
Sesudah itu, dia memanggil putranya dan berkata, ''Wahai anakku, ayahmu tidak dapat memperhitungkan umurnya walaupun hanya sejam ke depan. Ayahmu juga tidak ingin mewariskan utang kepadamu. Sudah terlalu banyak hal yang harus ayahmu pertanggungjawabkan ke hadapan Allah di akhirat nanti. Karena itu, ayah membatalkan niat meminjam uang untuk membeli baju barumu. Jadi, besok berangkatlah kamu ke sekolah dengan menggunakan bajumu yang biasa.''
Salah satu pendidikan yang dapat dipetik dari kisah Umar ini, antara lain, hendaknya kita berhati-hati dan takut untuk berutang. Terlebih jika hal itu hanya sekadar untuk memenuhi prestise dan bukan dalam rangka menunjang kegiatan muamalat yang produktif. Rasulullah saw mengingatkan, ''Jauhilah utang karena utang itu hanya membuat kamu gundah di malam hari dan terhina di siang hari.'' (HR Bukhari-Muslim).