REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat 96 tahun lalu, pada 3 Maret 1924 Kekhalifahan Islam Ottoman mengalami keruntuhan. Imperium yang berdiri kurang lebih selama 625 tahun lalu itu dibubarkan lewat Majelis Nasional Agung dalam sidangnya sejak Februari 1924.
Mejelis juga memutuskan menghapus jabatan khalifah dan mempersilakan khalifah terakhir, Abdul Majid II meninggalkan Turki. Sebelum berakhir, Ottoman mengalami kejatuhan dan dilanda sentimen nasionalisme, seperatisme serta keterbelakangan hingga dijuluki sebagai Sick Man of Europe atau Pesakitan dari Eropa.
Kesultanan Ottoman pernah berada pada puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qonuni pada abad ke-16 dan 17 Masehi. Di bawah kepemimpinannya, Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani seantero dunia baik dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.
Wilayah kekuasaannya terbentang dari timur ke barat, mencakup daratan dan perairan Afrika, Eropa dan Asia. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, Sultan Sulaiman mendapatkan julukan Solomon The Magnificent atau Sulaiman Agung.
Setelah Kekhalifahan Islam lenyap, berdirilah Republik Turki yang sekuler dengan dikomandani oleh Mustafa Kemal Attaturk, sekaligus menjabat sebagai presiden pertamanya. Kesultanan Ottaman sendiri mengalami keruntuhan pada 1922 akibat kekacauan sosial dan ekonomi.
Disamping itu, saat itu dominasi Eropa semakin kuat kemudian diperparah kekalahannya pada perang dunia pertama. Sebagai konsekuensinya, Kesultanan Ottoman harus rela kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya. Berawal dari sinilah, revolusi Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal dimulai.