REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Dzar Al-Ghifari RA merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhamamd yang terkenal. Dikemudian hari, ia terkenal dengan kezuhudan dan keilmuannya. Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Abu Dzar memiliki ilmu yang orang lain tidak mampu memperolehnya. Hanya saja, dia menyimpannya."
Dalam kitab Fadhilah Amal yang ditulis oleh Maulana Zakariyya Al Khandahlawi, disebutkan, ketika pertama kali ia mendengar kabar tentang kenabian Muhammad SAW, ia mengirimkan saudaranya ke Makkah untuk memastikan berita itu. Kepada saudaranya ia berkata, "Apabila ada orang yang mengaku telah datang wahyu kepadanya dari langit, selidikilah keadaannya dan dengarkanlah baik-baik perkataannya."
Saudaranya pun pergi ke Makkah. Setelah menyelidiki keadaan di sana, ia pun kembali dan melapor kepadanya. "Aku melihatnya memerintahkan kebaikan dan akhlak yang mulia, dan aku mendengar ucapan yang bukan ucapan ahli syair atau ucapan ahli sihir."
Abu Dzar tidak puas dengan laporan ringkas dari saudaranya. Ia memutuskan untuk pergi sendiri ke Makkah. Setibanya di sana, ia langsung menuju Masjidil Haram. Ia belum mengenal Baginda Nabi SAW. Ia berpikir, tidak aman jika menanyakan tentang Baginda Nabi SAW kepada orang-orang. Maka hingga petang, ia masih terus tinggal di Masjidil Haram dalam keadaan seperti itu.
Ketika hari sudah mulai gelap, Ali RA melihat ada seorang musafir asing. Pada masa itu, menunaikan hajat para musafir, orang-orang miskin, dan orang-orang asing sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab. Ali RA pun membawa musafir itu ke rumah dan menjamunya. Tetapi Ali merasa belum waktunya bertanya mengenai siapa dan apa maksud kedatangannya. Musafir tersebut juga tidak mengemukakan maksudnya kepada tuan rumah.
Pagi harinya, ia kembali ke masjid. Sepanjang hari, keadaan tetap seperti itu, Abu Dzar tidak bisa menemui Baginda Nabi SAW karena dia belum mengenal Baginda Nabi SAW dan tidak bisa bertanya kepada siapa pun. Kemungkinan besar, hal tersebut disebabkan berita tentang permusuhan orang-orang kafir terhadap Baginda Nabi SAW telah tersebar luas. Siapapun yang menemui beliau akan disiksa dengan segala cara. Ia pun berpikir, tidak mungkin menanyakan kepada orang lain mengenai keadaan Baginda Nabi SAW yang sebenarnya. Ia takut, jika ia bertanya kepada seseorang, kemudian orang tersebut berprasangka buruk, ia akan mendapatkan kesusahan.
Sore hari kedua, Ali berpikir, "Musafir asing ini pasti mempunyai tujuan datang kemari. Mungkin tujuannya belum terpenuhi." Ali pun mengajak kembali tamunya menginap dan menjamunya di rumah. Namun, malam itu pun Sayyidina Ali belum bertanya kepadanya.
Malam ketiga, akhirnya Ali bertanya kepada tamunya, "Apakah tujuanmu datang kemari?" Setelah meminta Ali bersumpah dan berjanji akan menjawab dengan jujur setiap pertanyaannya, barulah Sayyidina Abu Dzar RA mengutarakan maksudnya.
Ali berkata, "Sungguh, beliau utusan Allah SWT. Jika esok pagi aku pergi, ikutlah dengan aku. Aku akan mengantarmu kepada beliau. Karena suasana pertentangan masih panas, maka jika selama di perjalanan kita menemui seseorang yang mencurigai perjalanan kita, aku akan berpura-pura membetulkan teompah. Hendaknya engkau terus berjalan, jangan menggangguku agar orang tidak mengetahui perjalanan kita."
Keesokan paginya, Ali diikuti musafir itu tiba di tempat Baginda Nabi SAW. Mereka berbincang-bincang dengan beliau. Saat itulah Abu Dzar ra masuk Islam. Selanjutnya, karena Baginda Nabi SAW sangat mencemaskan gangguan yang akan menimpa dirinya, beliau melarang Abu Dzar menunjukkan keislamannya di muka umum.
Baginda Nabi SAW bersabda, "Pulanglah kepada kaummu dengan sembunyi-sembunyi, dan engkau boleh kembali lagi jika kami telah mendapat kemenangan."