Sabtu 29 Feb 2020 12:22 WIB

Faktor Pemicu Bid'ah (3)

Istilah bid'ah tak bisa diberlakukan pada tradisi di sebuah komunitas.

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
Faktor Pemicu Bid'ah. Foto ilustrasi (Foto tak memiliki keterkaitan dengan judul dan tema artikel): Ibadah Itikaf
Foto: Republika/Amri Amrullah
Faktor Pemicu Bid'ah. Foto ilustrasi (Foto tak memiliki keterkaitan dengan judul dan tema artikel): Ibadah Itikaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah pernah memperingatkan bahaya kebodohan itu di berbagai hadisnya. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Allah akan mencabut ilmu di muka bumi dengan dipanggilnya para ulama kembali ke pangkuan-Nya." Selama kekosongan para pakar ilmu itu, umat yang ditinggalkan akan merujuk pada sosok-sosok yang minim ilmu.

Mereka akhirnya hanya akan sesat dan menyesatkan yang lain. Contoh dari penyimpangan qiyas ialah asumsi boleh meninggalkan shalat dengan mengqiyaskan kepada hukum diperbolehkannya tidak berpuasa jika membayar fidyah atau tebusan.

Begitu halnya bidah yang muncul akibat salah memahami bahasa Arab. Misalnya, pemahaman tentang bolehnya mengonsumsi lemak babi. Dasar yang digunakan ialah yang diharamkan teks hanya daging (lahm), bukan mencakup lemaknya. Padahal, anggapan tersebut salah kaprah. Padahal, kata dia, kata lahm dalam tradisi Arab memiliki cakupan makna yang tidak sebatas pada daging, tetapi juga meliputi lemak dan kaldu yang disarikan.

Sebab yang kedua ialah dominasi hawa nafsu dalam pengambilan hukum. Adakalanya, papar Syekh Syaltut, mereka yang telah diliputi nafsu akan membuat pembenaran atas argumentasinya. Teks-teks agama ditakwilkan sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Menurut dia, tindakan seperti ini sangat berbahaya karena telah mengalihfungsingkan teks suci untuk keyakinan pribadi. "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun." (QS al-Qashash [28]: 50).

Kategori penyimpangan ini banyak terjadi dan menimpa mereka yang dekat dan silau dengan lingkaran kekuasaan. Syekh Saltut bahkan menduga mayoritas ritual keagamaan yang dikategorikan bidah timbul akibat syahwat keduniawian untuk memenuhi hasrat penguasa.

Ritual azan kesultanan cukup menjadi salah satu bukti atas itu. Azan dikumandangan dan dibumbui dengan nyanyian-nyanyian di hadapan elite pemerintahan. Ritual ini sendiri disebut-sebut ada pertama kali saat pemerintahan khalifah ke-10 Dinasti Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik (743 H).

Faktor pemicu bidah yang terakhir adalah justifikasi akal atas sebuah ritual dan ibadah, baik dengan konteks menafikan sebuah ritual yang telah mapan menurut syariat maupun mengukuhkan amalan yang sama sekali tidak pernah dinukil dari Rasulullah. Padahal, dalam konteks yang pertama, bisa jadi terdapat nash-nash yang kuat dan valid-sekalipun luput dari pengetahuannya-tetapi, tetap saja, ia mengacuhkan ibadah yang jelas telah termaktub.

Beda halnya bila berbicara soal konteks kedua. Dalam konteks ini, ritual tersebut jelas-jelas dipaksakan keberadaannya. Dengan kata lain, pelakunya membuat hal baru yang belum berlaku dan ditetapkan Rasulullah. Mereka salah memahami filosofi legalisasi syariat dan hukum-hukum yang diberlakukan. Menurut Syekh Syaltut, mereka mempergunakan filsafat sebagai epistemologi untuk menciptakan perkara baru.  

Menurut Syekh, mempersepsikan semua perkara selalu positif dan laik dengan ukuran rasio atau sering disebut istihsan-sebagaimana pandangan imam Syafi'I-tak lebih dari bentuk bermain-main (taladzudz). Dan, seandainya hukumnya diperbolehkan dalam agama, maka bisa dibayangkan, siapa pun yang berakal akan berbicara meskipun bukan pakar.

Kemudian, ia pun akan leluasa menciptakan bab baru di ranah syariat. Contoh bidah yang dikategorikun muncul karena sebab ini seperti membaca doa di hadapan jenazah. Alasannya, melantunkan doa lebih baik ketimbang membiarkan orang-orang yang berada di sekitar jenazah saling berbicara, tanpa makna.

Contoh lainnya, melarang penggunaan perhiasan yang tidak diharamkan Allah. Argumentasinya kembali ke inti yang sama saat Allah melarang mengenakan emas dan kain sutra. Menurut Syekh, keseluruhan faktor penyebab bidah itu terangkum dalam sebuah hadis-walaupun derajatnya lemah-riwayat Abdullah bin Amar dan Abu Hurairah.

Hadis yang dinukil dari kitab ad-Dlu'afa al-Kabir oleh al-Aqili itu menyebutkan bahwa di setiap masa ulama dengan integritas diri dan keilmuanlah yang akan memelihara ilmu. Mereka akan mengikis penyimpangan kalangan ekstrem dan liberalis serta pentakwilan orang-orang yang bodoh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement